Mohon tunggu...
Hidayat Doe
Hidayat Doe Mohon Tunggu... -

Lahir di Kamaru, Buton. Alumnus Ilmu Hubungan Internasional Unhas....

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kegagalan Fungsi Lembaga Negara

11 Juli 2011   08:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:46 3796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kian mengecewakan. Banyak lembaga negara yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Alasan adanya (raison d’etre) sebuah institusi negara tidak bekerja seperti yang diharapkan. Persoalan ini menimpa hampir seluruh lembaga negara mulai dari lembaga hukum, legislatif, eksekutif hingga partai politik yang jadi pilar demokrasi.

Lembaga hukum yang seharusnya menegakkan keadilan dan kebenaran di negara tidak berjalan. Lembaga hukum malah melakukan pembiaran atas aneka praktik korupsi yang terjadi. Masalah itu bermula dari tidak terungkapnya kasus Bank Century yang jelas-jelas di dalamnya terjadi perampokan terhadap uang negara, kasus korupsi pajak Gayus Tambunan yang di belakangnya diback up oleh pejabat tinggi negara, hingga kasus dugaan korupsi M Nazaruddin, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang juga mantan bendahara umum Partai Demokrat.

Kasus-kasus tersebut tentu tidak terjadi begitu saja atau berdiri sendiri tetapi berlangsung sistematis melibatkan sejumlah pejabat tinggi. Dugaan korupsi M. Nazaruddin, misalnya, jelas melibatkan petinggi Partai Demokrat. Hanya saja, penegak hukum baik yang berada di kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung maupun KPK cenderung tidak berbuat banyak untuk membongkar siapa-siapa di balik praktik korupsi tersebut.

Lembagalegislatif atau Dewan Perwakilan rakyat (DPR) yang mestinya bekerja mewakili kepentingan rakyat dan memperjuangkan aspirasi rakyat, malah bekerja untuk kepentingan diri, kelompok dan partainya. Fenomena itu tampak dari tidak sensitif dan responsifnya anggota DPR terhadap kebutuhan dasar dan kondisi kehidupan masyarakat. Di tengah himpitan ekonomi serta merosotnya daya beli masyarakat misalnya, anggota DPR malah berinisiatif membangun kantor DPR dengan harga RP 1, 138 triliun. Rencana tersebut jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. Publik pun bereaksi serta mempersoalkannya hingga rencana pembangunan gedung DPR itu tak terdengar lagi kejelasannya sekarang.

Rapat anggota DPR yang membahas ambang batas parlemen (parliamentary threshold) beberapa waktu yang lalu, juga lebih cenderung mewakili kepentingan partai masing-masing untuk mengamankan diri pada pemilu 2014. Hal itu terlihat dari sikap para fraksi yang terpecah belah memperdebatkanan ambang batas parlemen. Fraksi partai pun terpolarisasi lima kelompok.

Kelompok pertama yang terdiri dari Fraksi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusung ambang batas naik dari 2,5 persen menjadi 5 persen. Kelompok kedua yang di dalamnya hanya Fraksi Partai Demokrat mengusulkan ambang batas naik 4 persen. Kelompok ketiga yang berasal dari Fraksi Partai Amanat Nasional dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa mengusul 3 persen. Yang keempat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengajukan 3-4 persen dan terakhir Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat serta Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya masih tetap menginginkan ambang batas 2,5 persen.

Perdebatan ambang batas tersebut membuat pembahasan RUU terkendala karena setiap kelompok bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Partai Golkar misalnya, berpandangan, naiknya ambang batas 5 persen untuk menyederhanakan partai. Sementara di sisi lain beranggapan, ambang batas tidak mengalami kenaikan drastis untuk mengindari banyaknya suara yang terbuang. Terlepas dari perdebatan tersebut, anggota DPR terkesan hanya berjuang untuk kepentingan partai bukan kepentingan rakyat.

Lembaga eksekutif dalam hal ini pemerintah yang sejatinya memberi perlindungan pada semua warga negara malah melakukan pembiaran atas berbagai tindakan kekerasan sekelompok orang terhadap jamaatAhmadiyah. Insiden penyerangan jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, dan Banten secara berentetan adalah contoh bagaimana pemerintah gagal memberikan perlindungan serta rasa aman kepada kelompok Ahmadiyah sebagai warga Indonesia.

Kegagalan itu juga terjadi pada keamanan dan keselamatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Kasus Ruyati, TKI asal Bekasi, misalnya,dipancung oleh pemerintah kerajaan Arab Saudi tanpa sepengetahuan pemerintah. Insiden itu tentu mengecewakan warga negara yang peduli terhadap nasib TKI di luar negeri.

Partai politik yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi untuk menyerap dan menyuarakan kepentingan rakyat, hari-hari ini juga lebih kental bekerja untuk kepentingan pribadi dan partainya saja.Peran partai politik hanya dirasakan pada saat musim pemilu atau kampanye untuk mendapat dukungan serta meraup suara banyak dari rakyat, sesudah itu rakyat diabaikan dan dilupakan.

Praktik-praktik bernegara diatas telah membuat fungsi negara tidak bermakna apa-apa bagi rakyat. Kehadiran negara seperti tidak dirasakan oleh rakyat. Transisi demokrasi yang memberikan kebebasan dan keterbukaan politik pada akhirnya hanya dinikmati oleh elite politik dan pemilik modal. Sementara rakyat dibiarkan terpinggirkan sendiri di tengah penderitaan dan kemiskinannya. Padahal, dalam pembukaan UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa negara dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum.

Gagalnya fungsi lembaga negara untuk bekerja sebagaimana mestinya tidak lepas dari mentalitas para aktor di dalamnya yang membuat fungsi kelembagaan negara mengalami kemandekan serta distorsi. Sikap pejabat negara yang lebih cenderung bekerja untuk diri dan kelompoknya, serta sikap para elite politik yang cenderung pragmatis, dan oportunis telah membuat mereka kehilangan nalar politik. Kesadaran moral para pejabat dan elite politik pun dipertanyakan di tengah maraknya praktik korupsi, meluasnya pelanggaran hukum serta penyimpangan etis dalam bernegara.

Gerakan kebudayaan

Buruknya mental dan moral para penyelenggara negara mesti menjadi perhatian serius. Para pemimpin negara khususnya presiden dan seluruh kepala daerah (gubernur,walikota,bupati) harus segera menyikapi persoalan mental dan moralitas bangsa ini. Para pemimpin negara sudah saatnya melakukan revitalisasi mental dan moral bangsa untuk memperkuat fungsi dan peran lembaga negara demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Proses revitalisasi tersebut harus dilakukan melalui gerakan kebudayaan yang menyeluruh di level pemerintahan dan birokrasi. Gerakan kebudayaan tersebut dilakukan dengan memberlakukan kultur disiplin, profesionalitas, budaya taat hukum serta menghilangkan semua praktik-praktik feodal di birokrasi pemerintah. Para pejabat dan pegawai yang melakukan penyimpangan dari gerakan kebudayaan tersebut diberikan sanksi yang tegas pada mereka. Para pemimpin dan pejabat tinggi negara juga harus memberikan contoh keteladanan pada jajaran bawahnya di dalam birokrasi pemerintah.

Gerakan kebudayaan juga harus dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan untuk menumbuhkan generasi-generasi bermental dan bermoral di masa yang akan datang. Pendidikan mental dan moral tersebut harus lebih diperkuat melalui pendidikan karakter dan pendidikan keagamaan dengan merubah kurikulum yang berbasis pada pembentukan karakter dan moral.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun