(Oleh Sugeng Riyadi)
“pengetahuan dalam bentuk komoditi, menjadi tiang utama dalam persaingan kekuasan dunia”
(jean f.lyotard)
[caption id="" align="alignnone" width="675" caption="Bisnis pendidikan"][/caption]
Wacana tentang penolakan kapitalisme pendidikan kerap kali muncul di permukaan publik, wacana ini merupakan kritik social terhadap dunia pendidikan, terutama di Indonesia yang system pendidikannya sering dijadikan ajang pencarian keuntungan atau “pengkapitalisasian pendidikan”. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya kasus tentang anak yang putus sekolah dengan alasan orang tua-nya tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal. Padahal dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 menyatakan bahwa mendapatkan pendidikan adalah hak bagi setiap warga Negara. maka wajar saja jika wacana tentang kapitalisme pendidikan ini tidak pernah basi untuk diwacanakan di ruang publik, sampai akhirnya hak warga Negara tentang pendidikan diberikan oleh Negara. Dalam hal ini Negaralah yang memiliki kewajiban untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negaranya.
Dunia pendidikan yang semestinya dibangun berdasarkan nilai-nilai objektivitas, keilmiahan dan kebijaksanaan kini kerap dimuati oleh nilai-nilai komersial. Hal ini dapat dijadikan sebuah refleksi dari keberpihakan dunia pendidikan pada kekuasaan kapital. Sehingga ketika pendidikan menjadi bagian dari kapitalisme, maka berbagai paradigma, metode dan teknik-teknik yang dikembangkan didalamnya menjadi sebuah cara untuk memperkuat hegemoni kapitalisme. Dengan demikian pengetahuan tidak saja menjadi sebuah alat untuk mencari keuntungan akan tetapi juga di produksi sebagai komoditi untuk diperdagangkan dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Pengetahuan dalam dunia pendidikan yang dijadikan komoditi ini berkembang sejak ditandatanganinya kesepakatan GATT yang menyatakan bahwa dunia secara global harus memihak pada kepentingan pasar. Hal iu dilakukan demi membuka peluang bagi Trans National Corporation (TNCs) untuk ekspansi, salah satu usaha strategis mereka adalah mempengaruhi Negara-negara berkembang untuk melicinkan “jalan” bagi TNCs untuk beroperasi. Mekanisme dan proses globalisasi ini diperjuangkan melalui actor utama globalisasi yakni bank dunia / IMF melalui kesepakatan WTO yang sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideology libelarisme. Paham inilah yang menurut Mansour Fakih berusaha untuk membatasi peran pemerintah dan lebih memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk menjadi actor dalam bidang ekonomi dibawah situasi persaingan bebas yang diciptakan oleh gagasan “Pasar Bebas”. Akibat dari pendirian pasar bebas inilah berpengaruh pada visi pendidikan yang memaksakan komodifikasi pendidikan terjadi.
Komodifikasi pendidikan tersebut di tandakan oleh Darmaningtyas dalam sebuah kasus bahwa setiap tahun -nya siswa yang mengenyam pendidikan dari SD sampai SMTK rata-rata 37 juta siswa, ini merupakan peluang pasar bagi perusahaan-perusahaan swasta seperti penerbit buku pelajaran, alat-alat tulis, seragam sekolah dan lain sebagainya. Sehingga lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan tersebut bekerja sama untuk berbisnis kebutuhan-kebutuhan siswa tersebut, perbisnisan ini merupakan salah satu penyebab kenapa pendidikan kita mahal dan merupakan salah satu bentuk dari komodifikasi pendidikan.
Selanjutnya jika kita perhatikan dari beberapa institusi-institusi perguruan tinggi negri di Indonesia, setiap pergantian tahun ajaran baru institusi-institusi pendidikan tersebut dihadapkan dengan proyek besar yang dapat menghasilkan keuntungan yang berlimpah. Keinginan calon mahasiswa yang akan masuk dalam perguruan tinggi negri tersebut perupakan peluang pasar pagi para elit kampus Ujian masuk atau UM pada perguruan tinggi negri mempunyai sarat mutlak bahwa calon mahasiswa yang ingin masuk Perguruan tinggi tersebut diwajibkan untuk menyumbang, dan yang ironisnya lagi yang menjadi standar diterimanya calon mahasiswa di lihat dari seberapa besar sumbanganya bukan pada kualitas calon mahasiswa.
Maka wajar saja jika penulis menyebutnya itu sebuah proyek tahunan institusi perguruan tinggi negri, karena persaingan jumlah sumbangan yang diberikan dari calon mahasiswa akan menguntungkan para elit kampus saja. Dengan demikian calon mahasiswa yang tidak punya uang tidak dapat kuliah di perguruan tinggi negri walaupun secara kualitas ia lebih unggul dibandingkan calon yang memberikan sumbangan besar, alhasil dia tidak dapat melanjutkan studinya karena lagi-lagi tidak dapat membayar biaya pendidikan yang terlalu mahal. Sistem yang dibangun oleh kapitalisme pada dasarnya dibangun dengan prinsip persaingan yang didalamnya mempunyai kehendak untuk menguasai dan mendominasi.
Dari kedua fenomena diatas jelas bahwa pendidikan saat ini sudah dijadikan ajang bisnis untuk memperoleh keuntungan. Kemudian yang menjadi pertanyaan kita adalah apa arti dari pasal 31 UUD 1945 tersebut jika ternyata realitas yang terjadi dalam dunia pendidikan hanya dapat dinikmati oleh “sikaya” saja yang mampu untuk membayar biaya pendidikan? lalu dimanakah hak kita sebagai warga Negara dalam masalah pendidikan? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas perlu perenungan, pengkajian dan pemahaman bersama tentang wacana-wacana pendidikan yang menurut penulis harus!
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H