Malam telah tiba, kepalu sakit, kebiasaan ketika aku membutuhkan kopi. Tapi hal yang paling menjengkelkan pasti tidak bisa tidur dimalam hari. Aku mengambil resiko itu dari pada kepalaku terus sakit.
Aku membawa uang lima ribu. Tiga ribu untuk kopi sisanya rokok sebatang. Itu kulakukan jika memang aku tidak punya uang dan kebiasaannya memang aku sering kekurangan. Pelayan membawa kopi kepadaku dan tanpa ku sadari dia duduk bersamaku. Lebih nyaman sendiri dari pada ditemani tapi temanmu tak memahami keadaanmu dan mereka lebih suka membanggakan diri. Aku menyalakan rokokku. Â
"kapan nikah?" tanya pelayan.
"lagi dalam persiapan", jawabku.
Pembicaraan seperti ini selalu membuatku tersudut. Bukannya aku tidak mau tetapi aku memang belum siap. Kerinduanku terhadap pernikahan sangat besar. Karena aku mempunyai prinsip sendiri terhadap sebuah hubungan, aku tidak akan mendekati seorang wanita atau berhubungan dengan wanita kecuali dia memang menjadi istriku. Itulah yang membuat aku kehilangan dua orang yang pernah kucintai yang terpaksa kuhilangkan dipikiranku karena mereka sudah berkeluarga. Aku tak pernah memberi tahu mereka perasaanku.
"jangan pernah menunggu menjadi pegawai negeri sipil jadilah orang swasta, pemikiran orang swasta itu selalu berputar dia tak pernah diam, selalu mencari peluang tidak pernah mencari kerja tapi membuka lapangan pekerjaan", ceramah pelayan.
"semua itu butuh modal", kataku.
"minta sama ayahmu", kata pelayan.
"aku tidak tau, mungkin ayahku tidak setuju", kataku.
"ayahmu pegawai negeri sipil susah mempunyai pikiran seperti orang swasta", katanya.
Tak pernah aku terlalu terbuka pada ayahku, menanyakan pendapatnya atau meminta bantuan secara langsung. Kadangkala ayahku membantu ketika aku terlihat kesulitan. Aku merasa janggal untuk memulai percakapan dengan ayahku.