Mohon tunggu...
sang avicena
sang avicena Mohon Tunggu... -

Penulis dan Hobby Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Sederhana Surati

4 April 2014   17:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku duduk termenung, pikiran dan batinku mengembara ke berbagai sudut jalan antar kota Bekasi dan Jakarta. “Ini tehnya Kang, tapi hanya segelas teh pahit tanpa gula. Gulanya habis Kang, uang belanja juga lagi kosong. Rati sudah berusaha mencari pinjaman ke warung sebelah Kang, tetapi warung sebelah kondisinya juga sama dengan kita”. Surati, Istriku sambil membenarkan kerudungnya yang berwarna abu-abu, dia sangat cantik bagiku, teh pahit ini tetap terasa manis karena ada senyum manisnya yang mengambang. “Tidak apa-apa Rati..teh pahit ini sudah cukup menghilangkan dahagaku. Teh pahit ini terasa manis Rati.....karena kita mencarinya dengan halal dan tidak mencuri. Berbeda dengan pejabat-pejabat yang ada di Senayan, mereka memang meminum teh manis setiap hari. Tetapi jiwa mereka pahit, mereka merampok uang kita, uang yang akan digunakan oleh anak kita di masa depan” Aku mengadu menyalahkan para pejabat yang pekerjaanya saling sikut dan saling tendang dengan cara-cara yang teramat kotor. Beberapa hari ini mereka juga saling sikut dengan lontaran sajak-sajak politik yang tidak aku pahami maknanya. Akupun tidak tahu sajak politik tersebut bermanfaat atau tidak, harapanku mereka memikirkan kami yang sebentar lagi sekarat karena kelaparan.

Aku rebahkan tubuhku di sofa kamar depan, di sebuah sofa tua yang kusut dan robek bagian pinggir dan tengahnya. Aku pandangi langit-langit kontrakkanku yang hitam kelam penuh debu memperlihatkan kondisi yang tidak nyaman untuk dijadikan tempat tinggal. Pandanganku menerawang kelangit kontrakkan sempitku, namun pikiranku kalut entah kemana. Beberapa hari ini pikiranku semakin kalut memperhatikan hiruk pikuk masyarakat yang hendak menyambut hadirnya pemilu yang akan digelar tanggal 9 April nanti. Hatiku semakin kacau dengan adegan-adegan bak badut yang diperankan oleh caleg yang hendak mencari pekerjaan sebagai anggota legislatif. Para caleg itu, sudah biasa mengumbar janji untuk memperbaiki kondisi rakyat kecil di seluruh pelosok negeri. Para caleg, ternyata hanya mengumbar janji yang di kemudian hari mereka ingkari mereka dan tidak sudi lagi memikirkan kami yang tetap dalam jeruji-jeruji kemiskinan. Sudahlah, kenapa juga aku membahas caleg-celag yang tidak bermoral itu, toh mereka juga tidak memikirkan nasib keluargaku saat ini.

“Kang Yatin..Besok Rati harus ke puskesmas, memeriksakan kandungan...uangnya sudah dapat belum Kang?” Rati membuyarkan lamunanku yang hampa, aku duduk di sebelah Rati, aku pegang perut istriku yang sudah membesar, kandungannya menginjak usia 8 bulan. “Maafkan Bapak ya...Nak..belum bisa menjadi orang tua yang baik buat kamu” Aku berbicara memberikan keterangan pada calon anaku yang masih ada dikandungan Rati. Aku berharap anakku kelak menjadi anak yang istimewa, menjadi pemimpin yang mempunyai sifat asih dan adil. Hanya Surati dan calon anaku yang membuat hidupku saat ini terus bertahan, ada kebahagiaan di antara kemiskinan akut mencengkeram aku dan Surati.

Surati nama istriku, nama yang sederhana menunjukkaan bahwa Dia asli dari suku jawa. Surati, nama istriku, yang aku nikahi 8 bulan lalu, di daearah gersang pinggiran kota Yogyakarta. Surati, kini mendampingi hidup, kini dia sepenuhnya memberikan cintanya padaku. Suyatin namaku, lelaki yang beruntung mendapatkan cinta tulus dari Surati, gadis yang penyabar dan penuh kasih sayang. Surati, gadis berjilbab sederhana dengan kedewasaannya, walapun dia hanya tamatan Sekolah Menengah Pertama, dia istimewa bagiku. Aku sendiri hanya lelaki biasa dengan pendidikan sampai tingkat SMU, aku tidak sanggup melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi karena ketiadaan biaya. Jika anggaran pendidikan tidak dirampok ramai-ramai oleh para pejabat di Senayan itu, mungkin aku dapat melanjutkan pendidikan tinggi. Bukan hanya diriku, jika kekayaan negara tidak dijarah dan dirampok oleh pejabat bekerjsama dengan korporasi asing, seluruh pemuda Indonesia akan kuliah dengan biaya gratis.

*******

Setelah aku ikat cintaku dengan pernikahan, aku bawa Surati mengarungi hidup di tengah Kota Jakarta yang terkadang tidak bersahabat. Aku sewa kontrakkan sederhana di daerah Pulo Gadung Jakarta Timur, berdekatan barisan pabrik-pabrik yang angkuh dan sombong. Aku bekerja menggantungkan hidup untuk memangganjal perut yang lapar sebagai buruh pabrik di kawasan ini. Aku hanya mengantongi ijazah SMU, sehingga pekerjaan yang aku dapatkan sebatas buruh pabrik dengan status harian lepas. Tentu saja sebagai buruh harian lepas gaji yang aku dapatkan tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidupku bersama Surati. Manajeman pabrik juga tidak peduli dengan karyawan seperti diriku, mereka tidak memberikan berbagai jaminan kesejahteraan bagi karyawannya. Jika kami menanyakan berbagai kebijakan tersebut, mereka hanya menjelaskan bahwa hal tersebut sudah diatur oleh undang-undang ketenagakerjaan. Undang-undang menyebutkan bahwa buruh pabrik harian lepas memang tidak berhak mendapatkan berbagai tunjangan kesejahteraan. Diriku yang hanya lulusan SMU tidak mengerti materi-materi undang-undang yang mereka jelaskan.

Pagi ini aku hendak berangkat bekerja seperti biasa, secangkir teh pahit atas nama cinta oleh Rati. “Kang Yatin, nanti jam 3 sore kita ke Puskemas ya! Kang Yatin..nanti ijin saja pulang duluan, biar bisa temani Rati ke Puskesmas!” Rati duduk di sofa yang pekat itu dengan sesekali membetulkan poisi duduknya yang berat dengan kandungan yang dibawanya. Dengan kondisi tersebut, aku memahami betapa berat beban yang harus dibawa oleh Rati jika karena cinta dan pengabdian, Rati mungkin menyerah kalah. “Iya...Rati..nanti Kang Yatin ijin duluan agar dapat menemani kamu ke Puskesmas”.

Aku terus berjalan menyusuri kawasan-kawasan gedung pabrik di kawasan Pulo Gadung, diriku masih menarawang hampa. Aku tidak tahu, apakah masih dapat bertahan hidup di Jakarta yang ganas ini, aku tidak tahu jawabannya. Rati tidak tahu bahwa kemarin adalah hari terakhir aku kerja di Pabrik ini, aku rahasiakan pada Dia. Manajemen Pabrik memberhentikan beberapa karyawan karena memang kondisi yang berat untuk berproduksi. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh ekonomi yang diperankan oleh Negara dan Pemerintah. Jika pemerintah bekerja dengan serius, mungkin kami hidup dalam kemlaratan. Pemerintah seharusnya paham dan mengerti, undang-undang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan hidup yang layak. Hak pendidikan, hak kesehatan, hak merdeka dalam ekonomi, ini menjadi tanggung jawap pejabat negara. Tidak hanya aku dan Rati yang berada dalam kubanan kemiskinan akut, bahkan seluruh rakyat Indonesia merasakan hal yang sama. Tetapi, yang tidak aku pahami dan sangat menggelikan, pemerintah membuat laporan bahwa angka kemiskinan sudah menurun. Pemerintah membuat laporan beberapa tahun ini perekonomian Indonesia mengalam kenaikkan sekitar 7% yang siginifikan. Laporan itu bagi kami hanya berita kosong, toh kami dan jutaan rakyat Indonesia masih terdampar dalam jurang kemiskinan yang teramat dalam.

*******

Aku langkahkan kakiku dengan teramat berat, beban hidup mengelayut dalam batinku yang kalut. Aku tidak sanggup menjelaskan pada Rati bahwa aku sudah tidak lagi bekerja sebagai buruh pabrik, hatiku kelu dan gelap. “Kang Yatin..harus kuat, jangan lemah Kang. Walapun hidup kita miskin biar saja Kang. Rati sangat mecintai Kang Yatin, walapun hidup kita sangat miskin. Pesan Rati untuk Kang Yatin, carilah rejeki yang halal Kang, jangan mencuri jangan mengambil hak milik orang lain. Birlah Kang, kita miskin tetapi hidup dengan jiwa gagah dengan kejujuran. Kang Yatin jangan lagi menambah kebejatan yang telah diperbuat oleh pejabat itu. Hidup kita haru nerimo Kang, ini amanah dari Gusti Allah Kang, kita jalani saja. Rati ndak mau jika nanti anak kita lahir kemudian hidup dari uang hasil mencuri Kang. Dengan begitu, Rati berharap anak kita kelak akan menjadi pemimpin yang ngayomi rakyat. Anak kita menjadi gagah seperti Gatot Kaca, Satrio Pringgodani yang membela keadilan orang-orang kecil” Pesan pendek ini diberikan Oleh Rati kemarin sore ketika kami sedang bercanda dalam kontrakkan yang teramat sempit.

Aku masih termenung duduk diperempatan jalan samping Terminal Pulo Gadung dengan tatapan mata kosong. Tiba-tiba dari seberang jalan Hardiman sahabatku berlari mendekat memanggil-manggil namaku. “Kang Yatin..Kang Yatin...” dia memanggil namaku dengan nafas yang tersengal kembang kempis. “Kang Yati...Mbak Rati Kang.. Mbak Rati!” Haridman masih belum dapat meneruskan ucapannya. “Iya Man ada apa dengan Mbak Rati? Kenapa dengan Istriku?” Dadaku bergemuruh tidak beraturan seakan bumi hendak menghimpit hidupku. “Jelaskan Man..ada apa dengan Rati!” Aku meronta terus bertanya pada Hardiman. “Mbak...Rati Kang, Dia mengalami pendaharahan di kontrakkan”. Setelah itu dunia terasa gelap, matahari hilang dari pandanganku, segelap keadaan yang mungkin dirasakan oleh rakyat Indonesia yang terus hidup dalam kelaparan.

*******

Aku terus meratap di Pusara Rati, tanah pekuburan ini masih basah oleh rintik hujan. Aku terus memeluk gundukkan tanah tempat Rati dikuburkan. Aku menangis dengan teramat sangat, Rati, Istriku kini telah berada dalam gundukkan tanah ini. Kini hidupku semakin gelap, orang yang mendampingi hidupku telah kembali kepada pemilik-Nya. “Duh Gusti..Allah mengapa Engaku cepat panggil Rati Istriku?” Batinku bergejolak mengadu. Tanah pekuburan, tanah kering di Pinggiran Kota Yogyakarta ini, Rati berada dalam tidur panjangnya.

“Le..Yatin, ini ada surat dari Rati untuk Mu. Surat ini ditulis oleh Rati sekitar 6 bulan yang lalu. Lek Wur tidak tahu apa isi surat ini, intinya Lek Wur hanya menyampaikan amanat ini dari Rati untukmu” Lek Wuryanto memberikan sebuah surat putih dengan gambar bunga sederhana padaku. Surat ini telah dibuat oleh Rati tiga bulan 6 bulan yang lalu, kata Lek Wuryanto. Aku teringat dengan pesan dari Rati sekitar 6 bulan yang lalu, “Kang.....! Rati sangat mencintai Kang Yatin, hidup Rati sudah sempurna Kang. Rati tidak memerlukan harta yang berlimpah Kang. Rati hanya membutuhkan doa-doa sederhana dari Kang Yatin, doa yang akan menghantarkan Rati Ke Surga. Kang Yatin sangat mengerti doa seorang suami pada Istrinya akan menghantarkannya ke surga. Hidup Rati sangat bahagia Kang, Rati sangat mencintai Kang Yatin, Rati ingin mendampingi kang Yatin di Surga kelak. Jadilah orang yang kuat Kang, jadilah lelaki sejati yang dengan keteguhannya mampu menghancurkan segala kebengisan negeri ini Kang.” Pesan sederhana yang disampaikan oleh Surati, istriku wanita yang hanya lulusan SMP namun petuahnya menembus rentang waktu di masa depan.

*******

Aku buka surat kecil dengan kertas warna putih, aku tidak mengerti apa isi surat tersebut. Pelan-pelan aku buka kertas warna putih ini, di dalam hanya tertulis “Kang Jadilah Lelaki Pengembara! Jadilah Lelaki Yang mencari ilmu Pengetahuan! Pergilah ke Sumatra Kang Ke Kota Medan, temui sahabatku yang bernama Nisa Harahap!” Aku memandang alamat yang tertulis di dalam surat sederhana itu, entah apa yang diinginkan oleh Rati agar aku menemui Sahabatnya Nisa Harahap. Semenjak aku menikah hingga saat ini, Rati tidak pernah menceritkan tentang Nisa Harahap, sahabatnya. Hanya dari surat ini aku mengetahui bahwa Rita mempunyai sahabat yang bernama Nisa Harahap.

Sesuai dengan pesan dari Rati, aku akan menjadi lelaki pengembara, menjelajah berbagai negeri. Tujua kota pertamaku adalah kota Medan, sesuai dengan pesan yang tertulis dalam surat oleh Rati.

Next.................

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun