Mohon tunggu...
sang avatar
sang avatar Mohon Tunggu... -

Manusia biasa, berharap ikut serta menempuh jalan para pembawa risalah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Negara Darurat Pornografi, Hadeeeeuh!

6 Februari 2015   17:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:43 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pagi ini berbagai surat kabar menurunkan berita yang cukup hangat, mengutip pernyataan dari Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa disebutkan bahwa Indonesia sudah masuk darurat pornografi. Kondisi darurat ini dibuktikan dengan biaya belanja pornografi sepanjang tahu 2014 diperkirakan mencapai Rp. 50 triliun. Angkanya sudah sama dengan biaya belanja Narkoba selama setahun. Artinya pasar Narkoba dan Pronografi di Indonesia nilainya mencapai 100 triliun per tahun. Sungguh fantastik! Lebih jauh disebutkan bahwa dari seluruh kasus hukum terkait pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, 45 persen di antaranya merupakan kejahatan seksual yang melibatkan anak di bawah umur, bahkan hingga anak usia dini. Dari 45 persen korban pelecehan seksual yang melibatkan anak tersebut, terdapat beberapa kejadian yang dilakukan oleh ayah kandungnya sendiri atau inses.

Darurat pornografi tentu saja semakin menambah panjang kondisi darurat-darurat yang lain. Kita sudah mendengar adanya kondisi darurat narkoba (indonesia sebagai pasar narkoba terbesar di dunia). Kita juga mengalami kondisi darurat pendidikan nasional. Menteri pendidikan AB menjelaskan sejumlah indikator diantaranya: 1) sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan, 2) nilai rata-rata kompetensi guru di Indonesia hanya 44,5. Padahal, nilai standar kompetensi guru adalah 75, 3) Indonesia masuk dalam peringkat 40 dari 40 negara, pada pemetaan kualitas pendidikan, menurut lembaga The Learning Curve, 4) dalam pemetaan di bidang pendidikan tinggi, Indonesia berada di peringkat 49, dari 50 negara yang diteliti, 5). Pendidikan Indonesia masuk dalam peringkat 64, dari 65 negara yang dikeluarkan oleh lembaga Programme for International Study Assessment (PISA), pada tahun 2012. Anies mengatakan, tren kinerja pendidikan Indonesia pada pemetaan PISA pada tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012, cenderung stagnan, dan 6). Indonesia menjadi peringkat 103 dunia, negara yang dunia pendidikannya diwarnai aksi suap- menyuap dan pungutan liar. Selain itu, Anies mengatakan, dalam dua bulan terakhir, yaitu pada Oktober hingga November, angka kekerasan yang melibatkan siswa di dalam dan luar sekolah di Indonesia mencapai 230 kasus.

Kondisi darurat yang lain disampaikan oleh Bambang Soesatyo dalam bukunya ‘Indonesia Gawat Darurat’ adalah Darurat Ekonomi, Darurat Kepemimpinan, Darurat Pemerintahan, Darurat Korupsi dan Darurat Hukum dan Keamanan, Darurat Bailout Century, Darurat BBM, maupun Darurat Pangan. Darurat pangan bahkan mencatat bahwa saat ini impor pangan Indonesia telah mencapai angka 80%, suatu kondisi yang sangat tragis bagi negara agraris.

Darurat Pornografi

Meski kondisi darurat pada berbagai sektor kehidupan terus meningkat namun darurat pornografi yang disampaikan Mensos tampaknya penting menjadi perhatian serius. Tidak hanya menyangkut nilai belanjanya yang cukup fantastis namun juga menyangkut anak-anak dibawah umur bahkan anak-anak usia dini sebagai korban yang menjadi sasaran pelaku kejahatan. Artinya anak-anak usia SD, SMP, SMA sudah menjadi target utama bagi pelaku maupun industri yang bergerak dalam kerangka pronografi. Bagi industri pornografi, anak usia SD merupakan pangsa pasar yang permanen, karena secara neurologis anak-anak belum punya filter area sehingga apa yang telah dilihat ketika usia SD dia akan mengingat dan mengkonsumsinya (gambar/adegan porno) dalam kepalanya sampai tua. Dia akan terus kecanduan untuk mengkonsumsi pornografi, seperti orang yang kecanduan psikotropika. Secara neurologis, dampak kerusakan otak yang ditimbulkan oleh pornografi sama dengan kerusakan karena kecanduan psikotropika, diantaranya menyebabkan kebodohan (penjelasan Nur Aziza, Ketua Bidang Dakwah Salimah DIY).

Indonesia saat ini berada diperingkat kedua setelah Rusia dalam hal SURGA PORNOGRAFI. Namun, Indonesia keluar sebagai peringkat pertama dalam hal jumlah PENGUNDUH dan PENGUNGGAH SITUS PORNO. Luar biasanya mayoritas pengunduhnya masih berusia remaja, yaitu pelajar SMP dan SMA. Hal lain yang juga penting diketahui bahwa ada sebanyak 2,5 juta/tahun perempuan di Indonesia melakukan aborsi, 1,5 juta aborsi dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa akibat pergaulan bebas. Sedangkan di Yogyakarta, survey BKKBN tahun 2010, sebanyak 37% remaja putri sudah pernah melakukan hubungan seksual. Lebih jauh dijelaskan, bahwa pornografi sudah ada di rumah-rumah kita, melalui tayangan TV, majalah, tabloid, komik, internet, VCD dan BVD, SMS, gambar dan video yang berisi pronografi di HP, laptop, PC, juga melalui gambar dan poster.

Ancaman serius dari pornografi adalah kerusakan otak, dimana otak merupakan bagian yang paling banyak menerima pengaruh negatif dari kebiasaan men-candu pornografi!  Seperti yang dikatakan seorang ahli bedah syaraf dari Rumah Sakit San Antonio, Amerika Serikat, Donald L. Hilton Jr, MD, adiksi (kecanduan) ini mengakibatkan otak bagian tengah depan yang disebut Ventral Tegmental Area (VTA) secara fisik mengecil. Lebih jauh dijelaskan bahwa pornografi menimbulkan perubahan konstan pada neorotransmiter dan melemahkan fungsi kontrol. Ini yang membuat orang-orang yang sudah kecanduan tidak bisa lagi mengontrol perilakunya.

Anak Sebagai Produk Lingkungan

Anak adalah produk dari lingkungannya sendiri. Lingkungan yang membentuk pribadi, watak, karakter anak yang utama adalah lingkungan keluarga atau orang tuanya sendiri. Setelah lingkungan keluarga, lingkungan yang lain yang mempengaruhi watak anak adalah lingkungan pendidikannya, lingkungan sosialnya, maupun lingkungan lainnya dimana anak anak dapat berinteraksi. Jika boleh disebut, orang tualah yang menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembentukan watak anak.

Namun apa yang ada dalam pikiran orang tua? Pada kedua orang tua yang sibuk mencari makan, maka keluarga hanyalah alat untuk melepaskan penat semata. Paradigma orang tua bekerja pasti menempatkan pendidikan/sekolah sebagai pihak yang bertanggungjawab membina anak mereka. Karena itu, orang tua selalu mencari sekolah pavorit, sekolah religi untuk membentuk watak anak mereka sesuai dengan keinginan mereka. Jadi yang dipikirkan orang tua sebetulnya adalah mencari uang! Karena hanya dengan uanglah mereka bisa mendidik anak mereka sampai jenjang yang tertinggi. Dengan demikian, orang tua sudah merasa sebagai pihak yang melepaskan diri dari tanggung jawab mendidik anak. Sebab sejak awal menikah orang tua memang tidak mempersiapkan diri untuk mendidik anak. Sudah menjadi budaya di kita bahwa tugas orang tua cari makan bukan mendidik anak! Tugas gurulah mendidik anak!. Jadi sudah sejak awal budaya kita tidak mendorong keluarga sebagai pusat pendidikan anak.

Disadari atau tidak, institusi pendidikan juga semakin lama semkain bergeser fungsinya. Mungkin awalnya ada guru yang berdedikasi tinggi seperti KI Hajar Dewantara. Sekolah tempat membina mental-akhlak anak. Namun saat ini semuanya berbeda beratus kali lipat. Dunia pendidikan adalah dunia komersil bukan dunia pembangunan watak anak yang terbaik. Sekolah adalah bahagian dari industri. Pemiliknya bahkan tidak menyekolahkan anaknya disekolah yang dia buat sendiri. Para pemilik sekolah juga menjadikan sekolah sebagai ajang cari makan. Sekolah bukan sarana pengabdian tanpa pamrih. Celakanya, guru juga ternyata cari makan di sekolah. Jika sekolah memberi honor cukup maka guru juga akan bertindak seadanya juga. Pada diri seorang guru sudah tidak ada lagi cinta kepada anak-anak. Sebab dia juga bertarung menyekolahkan anaknya sendiri. Sangat ironi, ada guru mengajar pada sekolah paforit tetapi anaknya tidak bisa masuk kesekolah tersebut. Sebaliknya, ada guru mengajar disuatu sekolah tapi dia justru melarang anaknya sekolah ditempat tersebut.

Penutup

Bagaimana jadinya jika institusi keluarga, institusi pendidikan, institusi sosial/agama, gagal menciptakan watak anak yang berakhlak? Sudah barang tentu yang terjadi adalah para industri internet, televisi dan sarana hiburan lainnya akan mengambil alih pembinaan watak mereka. Maka sudah pasti yang akan terbina adalah generasi setan bukan generasi unggulan. Semakin kurikulum diganti semakin parah kerusakan moral ditengah anak-anak. Sebab para perencana juga hanya berfikir komersil, mereka juga ada hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaannya belaka. Mereka juga tidak sanggup menempatkan anaknya pada pendidikan yang dia buat sendiri. Para pejabat justru ramai menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Jadi sudah sangat jelas bahwa negara ini hanya diurus oleh mereka yang hanya ingin mengambil keuntungan bagi pribadi dan keluarganya semata. Tampaknya seolah ingin mengurus negara, padahal mereka hendak merampas negara!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun