Jika menyebarkan film tersebut hanya sebagai bentuk cita rasa terhadap pandangannya secara seni sinematografi, itu mungkin bisa dimaklumi. Tapi tidak demikian adanya, beberapa rekan wartawan juga melihat sisi politis dari pemunculan Dirty Vote ini.
"Intinya Pemilu 2024 khususnya Pilpres dinilai tidak legitimed. Karena sarat praktik kecurangan," ujar salah seorang jurnalis mengutarakan pandangannya dalam perbincangan di Grup WhatApp terkait munculnya film Dirty Vote.
"Membedah proses Pemilu dan Pilpres 2024. Tembakannya lebih banyak ke 02. Tapi ada juga yang ke 01 dan 03 walaupun relatif lebih sedikit. Jadi semua kena. Baik itu 01, 02 maupun 03," imbuhnya.
TKN Prabowo-Gibran sendiri telah menggelar konferensi pers menyikapi beredarnya film Dirty Vote.
"Tp narasi tangkisannya lemah. Cuma bilang "itu fitnah". Ga bs serang balik dgn data dan fakta," masih lanjutnya.
Ia tak mencium adanya pemesan khusus dalam penggarapan film Dirty Vote ini.
"Klo lihat dr tiga tokoh yg tampil di film ini sih cukup kredibel. Rasanya kecil kemungkinan pesanan dr pihak yg bertarung. Kemungkinan digerakkan oleh lembaga atau tokoh yg risau dgn dinamika Pemilu/Pilpres 2024. Fokusnya membongkar kecurangan yg dianggap TSM (Terstruktur Sistematis dan Massif), bukan menggagalkan Pemilu/Pilpres Bang," paparnya.
Apa yang diutarakannya mungkin juga akan diutarakan oleh rekan-rekan wartawan lain, jika pertanyaan itu mengarah ke sisi politik. Lantas bagaimana dari sisi seni sinematografi? Atau dari segi lain, misalnya bahwa film disebut juga sebagai alat propaganda. Â
Jika menilik dari sisi bahwa film sebagai alat propaganda, maka Hilmar Hoffmann pernah berkata bahwa dalam film, hanya apa yang 'dilihat' oleh kamera yang ada, dan penonton, yang tidak memiliki perspektif alternatif, secara konvensional menganggap gambar tersebut sebagai kenyataan.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H