Menyeruput kopi bukan sekadar mereguk rasa pahit dengan sedikit rasa manisnya saja, setelah itu kisah selesai. Pengisahan kopi yang sesungguhnya adalah, tentang bagaimana rasa kopi itu merasuk ke jiwa dengan membawa kenikmatan hakiki, sesudahnya. Eidos Coffe Eatery, ada di bagian itu.
Berada di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan yang sejatinya adalah ingar-bingar kota, Gladys Satori, owner Eidos Coffe Eatery menyambut kehadiran saya dengan semringah. Di sebelahnya Vicky Gassing, sang suami. Kami duduk di sudut. Sejauh mata memandang, konsep ruangan Eidos Coffe Eatery amatlah nyaman. Ada puluhan meja-kursi tinggi. Ada pula yang mengusung konsep lesehan, tempat kami berbincang.
Seorang pelayan pria tiba membawakan kami beberapa racikan kopi. Saya memesan Kopi Kebaikan. Varian kopi ini saya pesan dengan es batu, agar rasa dingin kopi menyergah hawa panas ibukota ini. Sedangkan yang lain memesan kopi dengan varian berbeda.
Sebentar sebelum ngobrol, saya meraih gelas kopi saya. Saya cium dulu aromanya sebelum rasa kopi pesanan saya itu meluncur ke tenggorokan lalu membenam ke dalam perut.
"Rasanya enak sekali Kopi Kebaikan ini. Ini kan kopi andalan Eidos?" Saya membuka pertanyaan setelah mereguk Kopi Kebaikan tersebut.
"Betul banget. Eidos itu Kopi Kebaikan. Dibalik nama itu ada filosofinya." Gladys merespon pertanyaan saya.
"Apa tuh?, Rasa penasaran saya besar sekali akan filosofi kata Eidos ini.
"Eidos merupakan filosofi dari bahasa Yunani. Secara harfiah nggak ada artinya karena itu filosofi kan. Tapi kalau kita ekstrak artinya itu adalah melihat sesuatu bukan dari bentuk atau fisiknya tetapi dari esensinya. Itu kita samakan artinya dengan kebaikan", terang Gladys.
"Kita melihat orang itu jangan dari fisiknya. Tapi dari nilai-nilainya yaitu kebaikannya. Makanya kita disini namanya Kopi Kebaikan. Hastagnya anak baik," kata Gladys lagi.