Udara dingin di kota ini selalu saja tiba saat subuh ketika orang-orang masih dalam kantuknya yang berkepanjangan. Cuma mereka yang dituntut karena 'hidup harus tetap berjalan', sudah gegas dari rumah dan tinggalkan anak-anak mereka yang masih terbuai dalam lelap. Mereka begitu lelah setelah sehari penuh sibuk dengan kotak ajaib 'handphone'.
Sedang Perempuan-perempuan para pendamping 'pejuang subuh' atau sebagian adalah sebaliknya, juga sudah harus beringsut. Mengguyur badan dalam dingin yang mengoyak, bersedekap dua rakaat dengan melafal doa qunud sebagaimana yang tertera dalam HR. Ahmad: "Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut ketika sholat subuh hingga beliau wafat." Usai itu sedikit menyolek diri, kemudian beranjaklah dari rumah tempat mereka menyimpan sejuta harapan bersama para suami juga anak-anak mereka.
Di jalanan para pejuang subuh, laki-laki dan perempuan mengarah ke tiap-tiap tujuan mereka ke delapan penjuru mata angin. Sedangkan di rumah, anak-anak itu mereka tinggalkan entah sendiri atau dengan orang lain, semata demi membesarkan mereka agar kelak menjadi orang yang berguna, setidaknya bagi kedua orang tua, yang sekarang ini menjadi para pejuang subuh.
Ketika matahari masih belum juga muncul dengan keperkasaannya karena dia harus setia menunggu bulan beranjak dulu, para pejuang subuh yang meninggalkan anak-anak mereka di rumah sudah tiba di tempat mereka mengais rejekinya. Mereka sudah bekerja, menguras pikiran, waktu dan energi saat dingin masih membekap.
Subuh27/6/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H