Mohon tunggu...
Surya Ferdian
Surya Ferdian Mohon Tunggu... Administrasi - Shalat dan Shalawat Demi Berkat

Menikmati Belajar Dimanapun Kapanpun

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Pilkada DKI: Kenapa Harus Riuh?

1 Februari 2017   12:23 Diperbarui: 1 Februari 2017   12:35 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ramai sudah proses pemilihan calon kepala daerah (Pilkada) untuk DKI Jakarta bergulir. Belum-belum terdaftar resmi saja, jagat nyata dan maya DKI Jakarta sudah ramaikan dengan segala macam pernak-pernik Pilkada.

Baru tahap pengusungan calon yang akan maju di Pilkada DKI, keriuhan disana-sini terdengar bersaut-sautan. Ada petahana yang ingin maju dari jalur independen dengan dukungan 1Juta KTP, ada juga yang mengais-ngais dukukungan partai, padahal sang calon adalah Ketua Umum sebuah partai yang telah ada sejak awal reformasi. Ada juga pengusaha muda yang kekayaannya triliunan rupiah, karena lihai melihat prospek di pasar modal. Namun ada juga anak muda yang kekayaannya fantastis walau baru berpangkat Mayor di dinas kemiliteran.  

Keriuhan tidak berhenti, setelah 3 pasangan calon ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah DKI Jakarta. Ancang-ancang serangan terhadap calon petahana sudah langsung di siapkan sebagai upaya memenangkan pasangan calon lainnya. Petahana yang akhirnya memilih maju dengan dukungan partai yang baru saja merayakan ulang tahun ke-44 beserta sejumlah partai di parlemen, dipaksa sibuk dengan serangan-serangan yang dilancarkan dari tim pasangan calon yang lain.

Isu korupsi, penggusuran, kejam, dan sejenisnya berhamburan diudara menyerang petahana. Namun ternyata 2 bulan berjalan tidak cukup memberi efek yang bagus untuk menggerogoti keterpilihan petahana.

Penetapan calon pasangan peserta Pilkada makin mendekati waktu. Bom isu pun diledakkan. Pidato Basuki Tjahaja Purnama tanggal 6 Oktober 2016 di Kepulauan Seribu yang diunggah kanal resmi Pemerintah Daerah DKI dijadikan peluru menyerang pasangan calon petahana. "Ahok Penista Agama Islam," "Ahok Penista Quran," "Ahok Penista Ulama," segera menjadi tulisan-tulisan di berbagai poster dan spanduk.

Sejumlah kelompok memanfaatkan isu "penistaan" ini untuk kepentingan masing-masing masing. Ada yang memang untuk kepentingan Pilkada DKI, ada yang berkepentingan terhadap pergantian kepemimpinan nasional, bahkan tidak kurang ada yang ingin dinobatkan sebagai pemimpin besar umat Islam se Indonesia. Paksaan agar Ahok (Panggilan Basuki Tjahaja Purnama) segera di tahan pun terus menguat hingga harus menyita perhatian petinggi negara. Isu terus memanas, langkah hukum pun harus di tempuh sebagai bentuk penghormatan terhadap kesepakatan bernegara.

Ahok ditetapkan sebagai tersangka dalam proses yang menurut para pegiat hukum adalah proses yang super cepat. Seolah semua lembaga hukum tidak mau berlama-lama memegang bola panas kasus "Al-Maidah 51." Polisi memeriksa dengan cepat, walaupun tidak secepat Kejaksaan meneruskan kasus ke persidangan. Harapan agar situasi kembali kondusif menampakkan sedikit kecerahannya. Sedikit reda, namun tetap ada kelompok yang ingin nyala didalam sekam itu terus berkobar. Aksi 212 (2 Desember 2016) digelar untuk memastikan Ahok di tahan. Namun apa mau dikata, Ahok tidak dapat serta merta di tahan hanya karena ada ratusan ribu orang (yang diklaim jutaan). Kecewa merundung kelompok yang ingin Ahok ditahan dan akhirnya batal sebagai calon.

Kini proses persidangan masih berjalan. Satu persatu saksi pelapor di periksa. Didalam persidangan, mayoritas saksi pelapor menggunakan potongan video sebagai alat pelaporannya, bukan video utuh. Aksi-aksi dukungan dari kedua belah pihak terus memadati ruang didalam dan diluar persidangan. Ahok diperiksa, pengunggah potongan video, Buni Yani, pun juga turut diproses hukum karena laporan terhadapnya.

Merasa tidak cukup puas dengan hasil kerja untuk menggagalkan petahana, kini isu baru dimunculkan. Proses pemeriksaan saksi terhadap Ketua MUI di geser seolah sebagai penghinaan terhadap ulama. Pertanyaan soal kedekatan Ketua MUI dengan salah satu pasangan calon dan mantan orang nomor 1 di Indonesia yang dibantah oleh saksi, digoreng menjadi peluru baru menyerang Ahok.

Riuh memang kontestasi politik, namun keterlibatan masih dikalangan elit. Sayang jika kontestasi demokrasi malah menjadi ruang penyemaian kebencian dan diskriminasi.

Di sayidan di jalanan, tuangkan air kedamaian (Shaggy Dog).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun