Pernah melaporkan kualitas dan debit Air ke Palyja?Â
Tahun 2015 sekitar Februari, saya pernah melaporkan debit dan kualitas air yang kewenangan pelayanannya diberikan Pemda DKI kepada Palyja (Wilayah Barat). Air yang semestinya mengisi tangki-tangki rumah kami untuk kebutuhan konsumsi tidak lagi kami nikmati. Pasalnya, harapan perbaikan dari hasil laporan sama sekali tidak dihadirkan. Alih-alih perbaikan, pemeriksaan hanya yang dilakukan tim teknispun hanya berakhir menjadi tumpukan kertas di meja pimpinan yang datang ke kantor menggunakan kendaraan mewahnya.Â
Lebih dari 5 tahun laporan yang disampaikan melalui kantor layanan di Ruko Daan Mogot, Jakarta Barat, sama sekali tidak mengetuk nurani pimpinan Palyja untuk memperbaiki kualitas layanannya. Gaji besar, nampaknya sudah menutupi nurani pelayanan yang diamanatkan peraturan pemerintah daerah DKI Jakarta kepada para pimpinan Palyja. Sekedar rencana perbaikanpun tidak terdengar keluar dari pernyataan mereka.Â
Awal bulan Desember, tiba-tiba datang tagihan disertai ancaman pemutusan jaringan air ke rumah saya. Sebagai konsumen yang dilindungi UU Perlindungan Konsumen, saya pun menyampaikan kembali laporan saya tahun 2015 sambil memohon penghapusan biaya denda yang dikenakan. Sengaja saya tidak meminta pembebasan biaya meteran dan penggunaan, walaupun biaya denda lebih besar dari penggunaan. Walaupun tidak kami gunakan, kami menduga adanya biaya penggunaan karena adanya kebocoran pipa dalam rumah. Maklum, pipa yang kami gunakan adalah pipa yang terpasang sejak tahun 1990an. Saya menerima dengan lapang kecerobohan tidak mengganti pipa dalam rumah yang berbuah tagihan pemakaian. Namun sangat tidak menerima jika beban denda dikenakan tanpa adanya perbaikan layanan yang telah dilaporkan namun tiada perbaikan.
Kemarin, 23 Desember 2021, ancaman kembali dilayangkan. Permohonan ditolak tanpa alasan, ancaman makin dikeraskan.Â
Bagaimana mungkin perusahaan yang ditunjuk untuk menjadi operator layanan justru hanya mendasari hidupnya demi mengeruk keuntungan justru tanpa layanan. Tagihan terus dimunculkan sementara keluhan melulu diabaikan.Â
Menagih layanan tanpa memberi layanan jelas-jelas merupakan penghianatan terhadap jati diri. Namun demikian nampaknya inilah yang menjadi kebiasaan yang seolah dibenarkan. Bayangkan, seorang pelanggan yang ingin tertibpun disarankan untuk menggunakan mesin penyedot air (pompa air) untuk menggunakan layanan Palyja. Padahal dengan cara demikian maka akan muncul ketidakadilan. Pelanggan yang menggunakan pompa air super jet akan mendapatkan debit air lebih besar ketimbang pompa air ala kadarnya. Kalau memang penggunaan pompa air menjadi standar layanan, mengapa tidak sejak awal dipasang bersamaan dengan alat meteran yang dipasang di rumah-rumah pelanggan? Lebih jauh lagi putaran pompa yang menyedot air Palyja akan ikut menyedot juga udara bersama air yang terhisap. Apakah demikian standar layanan Palyja? Saya kira tidak.
Kalau Palyja sebagai operator layanan yang tanpa layanan dengan gagah berani menagihkan biaya ke pelanggan, lantas sebenarnya dia perusahaan keuangan atau layanan air untuk warga DKI?
Semoga saja Gubernur Anies Baswedan, dan wakilnya mau meninggalkan legasi berarti dengan memperbaiki layanan air yang menjadi kebutuhan warga. Kalau perlu mengganti Palyja dengan operator lainnya, tentu warga pun akan mendukung kebijakan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H