Radar Bogor, Rabu (17/9), mengeluarkan berita soal kontroversi buku pegangan guru Sejarah Kebudayaan Islam yang dipakai ditingkat MTs (Madrasah Tsanawiyah-Setingkat SMP). Buku tersebut disinyalir dapat merusak keharmonisan umat Islam karena menyebutkan “makam wali sebagai sebagai contoh berhala masa kini.” Tak kurang ormas Nahdlatul Ulama bereaksi keras atas wacana yang dimuat didalam buku tersebut.
Sebelumnya, pada 8/8, okezone memberitakan penarikan komik yang sebelumnya diprotes oleh Yayasan Anak Bangsa Mandiri dan Berdaya karena dinilai berisi progaganda lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT).
Dua tahun lalu (2012) juga terjadi penarikan peredaran buku pelajaran sekolah (SD) yang memuat gambar Nabi Muhammad SAW. Begitu pula buku pelajaran Bahasa Indonesia yang memuat wacana soal “istri simpanan” (2013) dan buku yang berisi “penjelasan” hubungan seksual yang dianggap berbau porno.
Politik Wacana Dalam Pelarangan Buku
Fakta sejarah mencatat, motif utama pelarangan buku yang terjadi dari zaman ke zaman mengulang sebuah pola, yakni manifestasi otoritarianisme penguasa dan dominasi mayoritas yang ditopang legitimasi kekuasaan. Cara yang dilakukan pun hampir serupa berupa pemberian label “membahayakan keamanan”, “mengganggu ketertiban umum”, “tafsir yang keliru”, “ajaran sesat”, dan sebagainya (Iwan Awaludin Yusuf.,et.al, 2010).
Sebenarnya, pelarangan buku atau bahan bacaan dengan berbagai alasan telah terjadi di Nusantara bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Tulisan brosur Soewardi Soerjaningrat bertajuk Seandainya Saya Warga Belanda (Als ik eens Nederlander was), pernah dilarang di era Kolonial Belanda. Tercatat Commissie voor de Inlandsche yang diresmikan pada 14 September 1908 dibawah kepemimpinan G. A. J. Hazeu yang bertugas melakukan seleksi “bacan baik dan bermanfaat bagi pribumi”.
Sejak Indonesia merdeka, di era Demokrasi Terpimpin 1950, Ir. Soekarno, Angkatan Perang memegang peranan penting dalam menyeleksi bahan-bahan bacaan dalam rangka pertahanan negara dari rongrongan separatis dan sejenisnya.
Di era Order Baru, tak kurang Kejaksaan, kepolisian bahkan militer dan Departemen Pendidikan diberi legitimasi untuk menyaring peredaran buku di Indonesia. Pada masa awal Orba, peran Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) sangat dominan dalam menentukan buku maupun bacaan lain yang dibolehkan oleh negara (Fauzan, 2003) (Iwan Awaludin Yusuf.,et.al, 2010). Banyak buku yang dianggap menyimpang dari garis pemerintahan Order Baru menjadi korban dari rezim pelarangan buku
Ironisnya, tumbangnya Orde Baru ternyata tidak otomatis menumbangkan rezim pelarangan buku dan atau bahan bacaan lainnya.
Diera Reformasi, Iwan Awaludin Yusuf dan teman-teman peneliti dari Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA) mencatat pelarangan buku diera reformasi terjadi sejak tahun 2002, hanya berselang 3 tahun dari tumbangnya Order Baru.
Di tahun 2008 masih kita ingat ada 13 buku pelajaran sejarah untuk SLTP/A yang ditetapkan sebagai buku yang terlarang karena dianggap memutarbalikkan sejarah. Karena tidak menuliskan “PKI” dibelakang kata “G 30 S” dan atau karena tidak mencantumkan sejarah “Pemberontakan PKI 1948”.Hal ini berdampak liar. Kejaksaan Negeri Tanjung Pinang bahkan menetapkan 54 buku ajar sekaligus yang masuk dalam daftar bahan ajar terlarang.
Tahun 2009 dan 2010 sejumlah buku yang bernuansa politik juga ikut dilarang terutama karena tidak sejalan dengan wacana dominan versi pemerintah.
Hebatnya, diera reformasi tidak hanya lembaga negara yang seolah memiliki kewenangan untuk melanggengkan rezim pelarangan buku dan bahan bacaan. Bahkan ormas pun merasa berhak melakukan razia terhadap bahan bacaan yang dianggapnya tidak sejalan dengan narasi dominan organisasi yang bersangkutan.
Dengan berbagai alasan, organisasi masyarakat baik itu ormas sipil maupun ormas keagamaan diera kebebasan berorganisasi saat ini pernah melakukan sweeping dan razia atas bahan bacaan. Fungsi clearing house yang sebelumnya berada dibawah kendali Kejaksaan Agung nampaknya sudah “dipegang” oleh organisasi-organisasi masyarakat. Pemerintah seringkali hanya menjadi kepanjangan tangan dari ormas-ormas yang merasa “terganggu” dengan terbitnya buku atau bacaan yang tidak sanggup mereka bantah dengan menerbitkan buku atau bacaan versi mereka.
Buku Ajar Sekolah Dan Pertarungan Wacana Dominan
Diera reformasi sekarang ini, tercatat sejumlah buku ajar sekolah ditarik dari peredaran karena dianggap menyebarkan berbagai wacana yang “tidak sesuai” dengan nilai-nilai umum yang berlaku dimasyarakat.
Mulai dari nilai kebangsaan, hingga nilai-nilai keagamaan menjadi bahan penilaian dalam menyaring bacaaan yang “layak” bagi siswa di sekolah. Peristiwa G 30 S yang sarat akan muatan politis dianggap tidak layak apabila tidak menyertakan pelabelan PKI didalamnya. Wacana Perlindungan Hak-Hak Manusia tidak boleh menyertakan wacana soal Hak LBGT.Tidak tanggung-tanggung Bahkan sampai buku ajar yang menuliskan makam wali sebagai “berhala masa kini” juga menjadi sasaran pelarangan.
Jika disimak lebih jauh, buku ajar sekolah saat ini, bahkan mungkin sejak dahulu, merupakan medan pertarungan wacana yang sangat masif. Buku sebagai salah satu bentuk media massa disadari memang tidak lepas dari nilai-nilai. Buku dan media massa lainnya merupakan medan pertarungan wacana(Sudibyo,2001). Berbagai pihak berupaya memenangkan pertarungan wacana dominan didalam masyarakat. Penguasa baik dalam arti politik maupun sosial akan berusaha untuk menjadikan narasinya sebagai wacana dominan yang “layak” bagi masyarakat.
Sayangnya, pembuat regulasi buku ajar nampak belum memikirkan strategi yang jitu untuk dapat secara “adil” membangun keadilan wacana didalam buku ajar sekolah. Bahkan pembuat regulasi lebih nampak sebagai “hakim” yang justru terlegitimasi menjadi penyensor wacana.
Pentingnya memiliki regulasi dan peregulasi yang mampu membangun keadilan berwacana semakin menguat dengan munculnya berbagai kasus pelarangan buku/tulisan yang dianggap “menyimpang” dari narasi dominan. Berbagai pihak perlu didorong untuk secara ilmiah menelurkan wacana-wacana dimasyarakat yang terbaik menurut versinya. Bahkan sudah semestinya saling bantah dengan menerbitkan buku/bacaan ilmiah semakin ditingkatkan. Hal ini agar masyarakat semakin terbiasa dengan beragam wacana didalam satu topik bahasan maupun untuk berbagai bahasan.
Ruang wacana didalam buku ajar yang begitu terbatas harus diakui memang menyulitkan untuk berkembangnya tradisi perbantahan-perbantahan ilmiah. Alih-alih menampilkan keragaman wacana, peregulasi dan pelaksananya cenderung memilih jalur aman dengan berlindung dibalik “menghindari kebingungan dari anak didik (masyarakat)”.
Sayangnya peregulasi juga nampak belum membangun tradisi yang kuat untuk berdialog dengan keragaman wacana. Entah karena keenganan atau karena minimnya kemampuan mengelola wacana, hal ini belum nampak dilakukan bahkan oleh Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan sampai era sekarang ini. Bahkan sering yang terdengar justru aparatur negara berlindung dibalik minimnya anggaran untuk mewujudkan keadilan wacana sebagaimana diharapkan.
Dengan belum baiknya sistem dalam peregulasian yang demikian ini, siswa didik “dipaksa” untuk hanya menelan satu wacana dominan yang “layak” untuknya. Hasilnya akan mudah ditebak. Kelak siswa akan shock ketika mendapati wacana “berbeda” diluar lingkungan sekolahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H