Maka jangan heran kemudian kenapa akhir-akhir ini muncul kebijakan yang di nilai merugikan rakyat, seperti Perpres no. 20 tentang TKA, itu adalah salah satu imbas dari ke-tidaksiap-an kita dalam menghadapi MEA. Padahal ASEAN Community sudah di bentuk sejak 2003 silam dengan tiga pilar utamanya yaitu, ASEAN Economic Community, ASEAN Security Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Pertanyaannya sudah siapkah kita untuk menghadapi dua pilar selanjutnya?
Mengevaluasi dari program MEA tersebut, maka harus ada upaya pendidikan sekaligus penyadaran dari pemerintah terkait dengan persoalan bilateral negara, bukan hanya sebatas sosialisasi semata. Hal tersebut harus intens dilakukan supaya masyarakat Indonesia bisa benar-benar paham dengan segala macam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Apalagi Indonesia di prediksi akan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi ASEAN bahkan dunia dengan bonus demografisnya di tahun 2030 mendatang.
Selain dari segi pembangunan, hal menarik selanjutnya adalah pelaksanaan demokrasi. Menurut penulis, wujud dari perayaan dan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah meningkatnya kualitas demokrasi yang lebih dewasa dan mapan. Demokrasi yang dalam teorinya kita kenal dengan istilah dari, oleh dan untuk rakyat, namun dalam tatanan praktek tidak berjalan seperti demikian. Sejauh yang bisa kita rasakan bahwa kehadiran demokrasi hanya pada saat pesta momentum lima tahun sekali. Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik maupun demokrasi di Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Sejauh yang bisa kita lihat bahwa kekuatan politik partai yang tergabung dalam koalisi hanya menyusun strategi untuk memikat hati rakyat, sementara nilai-nilai pendidikan demokrasi yang adil dan beradab serta menjunjung tinggi nilai epistimologi manusia hanya menjadi wacana 'onani' intelektual semata. Hal inilah yang kemudian menyebabkan kondisi politik dan demokrasi pasca reformasi ini berada pada resiko ketidakpastian dan selalu saja berunsur pertarungan.
Perjalanan panjang demokrasi Indonesia memang menjadi sebuah catatan penting untuk selalu dipertimbangkan, sebab rintisan perubahan baik radikal maupun gradual harusnya dapat memberikan pemahaman kolektif terhadap masyarakat dengan segala perhitungan, taktik dan strategi untuk mencapai suatu perubahan.
Untuk itu, dalam momentum 21 tahun reformasi ini, mari sama-sama kita kawal proses pembangunan bangsa, baik dari segi infrastruktur, perkembangan kehidupan demokrasi, dan lebih-lebih pada pembangunan jiwa dan mental generasi-generasi yang diramalkan menjadi penggerak utama kemajuan bangsa dengan bonus demografisnya nanti. Sebab generasi-generasi inilah yang akan mengisi setiap post-post dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai dengan adanya bonus demografis tersebut malah menjadi musibah bagi bangsa Indonesia dengan semakin meningkatnya pengangguran dan hutang negara akibat dari tingginya nilai konsumeristik masyarakat.
Perjuangan belum berakhir, pembangunan bangsa belum selesai.
Artikel ini termuat juga di ==>Â http://manprahara10.blogspot.com/2019/05/21-tahun-reformasi-pembangunan-masa.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H