[caption id="attachment_153307" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi"][/caption] Melihat pergerakan aksi-aksi OPM (Organisasi Papua Merdeka) beserta para pendukungnya dari tahun-ke-tahun mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Jumlah pendukung OPM terus bertambah, kekuatan militernya pun (saya kira) juga bertambah.
Saya memberi tulisan ini dengan judul "Secara Politik OPM Sudah Menang", saya kira tidak berlebihan. Tujuan tulisan ini adalah memberi warning kepada Pemerintah dan aparat keamanan (TNI/Polri) bahwa gerakan separatis OPM tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Jika kita mau jujur, jumlah pendukung (rakyat yang mendukung) OPM dari kota hingga kampung-kampung di Papua, tren-nya meningkat. Eskalasi gerakan berupa demonstrasi, kampanye terselubung, penyebaran panflet, dan pengibaran bendera bintang kejora, selalu muncul dimana-mana dan setiap saat.
Mendengar kata "OPM" dan bendera Bintang Kejora di Papua bukan lagi hal aneh dan menakutkan seperti pada era Orde Baru. Jika pada era Orde Baru warga Papua taku-takut membicarakan OPM atau mengibarkan bendera Bintang Kejora, sekarang tidak lagi. Hal itu dapat dilihat secara kasat mata betapa mudahnya masyarakat Papua melakukan aksi atas nama "Papua Merdeka".
Beberapa waktu silam OPM membuka "identitasnya" dengan mengundang salah satu wartawan TV swasta terkemuka untuk datang ke markas mereka di salah satu kampung di pedalaman Papua. Dalam tayangan TV tersebut terlihat kegiatan latihan militer, orang-orang berseragam militer sedang latihan perang.
Sambil melihat tayangan TV yang menyiarkan aktivitas OPM berlatih perang, saya berpikir koq aparat TNI/Polri tidak bisa melakukan operasi militer menghancurkan kekuatan separatis tersebut di sarangnya. Mengapa mereka dibiarkan terus hidup dan tumbuh berkembang menjadi kekuatan besar jika Papua masih dianggap bagian dari negeri ini?
Pasukan keamanan kita baik TNI maupun Polri yang ditempatkan di Papua hanya merespon serangan-serangan kecil seperti penembakan-penembakan di Freeport atau serangan ke markas mereka. Sementara serangan-serangan sporadis OPM terhadap aparat keamaman terus terjadi meski dalam skala kecil.
Melihat kenyataan itu timbul pertanyaan saya, apakah pemerintah sudah tidak peduli dengan Papua, sehingga mengabaikan saja gerakan OPM.
Pemerintah tampaknya memang lebih peduli terhadap Freeport ketimbang provinsi Papua yang terancam lepas dari tangan kita.
Kita tidak bisa mengabaikan gerakan-gerakan kecil OPM baik melalui kampanye-kampanyenya maupun serangan-serangan sporadisnya. Bisa saja semua itu dilakukan OPM sebagai "latihan" dan "pembelajaran" kepada masyarakat bahwa mereka ada dan mereka pejuang kemerdekaan Papua.
Jika terus dibiarkan, maka kekuatan militer dan kekuatan politik OPM akan bertambah besar seiring bertambahnya dukungan masyarakat yang terpengaruh oleh kampanye-kampanye OPM yang menebar isu seolah-oleh Papua adalah sebuah negara yang masih terjajah, dan penjajahnya adalah Indonesia.
Isu penyelewengan dana Otonomi Khusus di Papua yang blowup di berbagai media nasional dan lokal, menurut saya, ikut andil menutupi keadaan sebenarnya di Papua. Semua pihak seakan terhipnotis oleh berita penyelewengan dana Otsus, komentar bermunculan dari anggota legislatis, pengamat sampai pejabat daerah dan mahasiswa.
Masalah dana Otsus seolah-oleh lebih besar dibanding ancaman gerakan militer dan politik Organisasi Papua Merdeka. Para petinggi negeri dan pengamat di Pusat sana seakan tidak sadar Indonesia terancam kehilangan satu bagian negerinya.
Yang mencemaskan ikut bermainnya asing (AS dan Australia) di Bumi Cendrawasih itu. Diakui atau tidak dan terlihat atau tidak AS dan tetangga kita Asia Putih itu lebih menginginkan Papua lepas dari Indonesia. Mereka ingin mengeruk sendiri kekayaan bumi Papua.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H