Mohon tunggu...
Madjid Lintang
Madjid Lintang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa yang masih terus belajar.

Di hadapan Tuhan aku hanya sebutir debu yang tak berarti. Pembelajar yg tak henti belajar, dan seorang hamba Tuhan yang penuh dosa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Syamsu Indra Usman, Si Penjaga Budaya Empatlawang

18 Juli 2020   10:44 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:19 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perkenalan saya dengan almarhum Syamsu Indra Usman bermula dari sebuah tulisan di Harian Kompas, edisi bulan Oktober 2006.

Seseorang pria paruh baya, sedikit lebih tua dari saya, yang duduk berhadapan dengan saya tengah asyik membaca koran Kompas. Kami tidak saling memperdulikan. Tidak bertegur sapa karena kami memang tidak saling kenal. Saat itu kami sama-sama tamu di Mess salah satu perusahaan perkebunan dan pabrik gula, di Lampung Tengah.

Ketika dia membentangkan lembar surat kabar yang dibacanya, mata saya melihat satu judul tulisan mencolok karena berukuran besar, berada di halaman paling belakang. Artikelnya memenuhi hampir seluruh halaman.

Artikel tersebut berjudul "Syamsu Indra Usman, Penyair dari Ulu Musi". Saya tidak kenal nama orang yang tertulis di situ. Yang membuat saya bergetar adalah nama Ulu Musi. Itu adalah nama sebuah daerah yang sangat saya kenal. Sebuah daerah di tepi Sungai Musi, di ruas antara Kabupaten Empatlawang, Sumsel menuju Kepahiang, Bengkulu.Ulu Musi dan Desaku, Gunung Meraksa Baru hanya berjarak kurang lebih 15 km.

Membaca judul itu saya jadi penasaran, ingin segera membaca artikel tersebut. Tapi, surat kabar masih dipegang dan dibaca pemiliknya. Dan, kami tidak saling kenal. Saya menahan sabar menunggu dia selesai membaca, lalu meletakkannya.

Yang saya tunggu akhirnya datang juga. Dia melipat surat kabar lalu meletakkannya di atas meja. Saya memberanikan diri menyapa sambil senyum. Mendapat sambutan. Saya mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Terjadi dialog singkat. Suasana jadi cair.

"Maaf, Pak, boleh saya pinjam surat kabarnya?" Saya memberanikan diri meminjam. Pria yang memperkenalkan diri bernama Sentot, seorang dari perusahaan penyuplai onderdil, mempersilahkan, lalu menyerahkan surat kabarnya.

Setelah menerima surat kabar saya langsung membuka lembaran surat kabar yang terlipat. Langsung ke sasaran menuju artilkel di halaman 16, rubrik "Sosok". Terpampang judul "Syamsu Indra Usman, Penyair dari Ulu Musi". Rasa senang dan bangga mrnyelinap di hati karena ada orang se-daerah dengan saya masuk di rubrik "Sosok" media nasional terkemuka.

Saya mulai membaca. Kalimat demi kalimat dan paragraf demi paragraf tuntas dalam waktu sekejap. 

Dari artikel itu saya baru tahu di daerah kami Lintang Empatlawang yang masyarakatnya terkenal keras, ternyata ada sosok luar biasa. Dia Syamsu Indra Usman, asli orang Lintang dari Desa Lubuk Puding, Ulu Musi.

Menurut artikel itu Syamsu Indra Usman adalah penyair yang produktif. Karya-karyanya sudah dimuat di berbagai media daerah dan nasional. Saya merasa kecil, kurang wawasan, kurang adoh dolan. Saya yang penduduk asli Lintang Empatlawang tidak pernah tahu di daerah sendiri ada sastrawan terkenal. Malu pada diri sendiri. 

Di Lampung, tempat tinggal saya setelah dewasa, saya bergaul dengan seniman dan sastrawsn terkenal (Isbedy Setyawan, Syaipul Irba Tanpaka, Christian Heru Sucahyo, Edy Kertagama, Iswadi Pratama, dan Gunawan Parkesit serta Conny Sema).

Ada rasa bangga juga menggelegak di dalam dada. Daerahku yang keras memiliki seorang sastrawan sekaligus budayawan.

Menurut artikel di surat kabar nasional tersebut, Syamsu Indra Usman mendedikasikan hidupnya untuk menjaga dan melestarikan budaya asli Lintang Empatlawang. 

Syamsu Indra Usman mengumpulkan beragam resep masakan lokal dan membukukannya. Dia juga mencatat dan membukukan berbagai jenis tari-tarian dan upacara-upacara adat.

Luar biasa! Saya berdecak kagum. Seketika muncul hasrat ingin segera berjumpa dan berkenalan dengan Si Penjaga Budaya Empatlawang itu.

Berjumpa Sang Budayawan

Impian ingin berjumpa dan berkenalan dengan Syamsu Indra Usman, budayan Empatlawang, yang berjuluk "Penyair Gunung", akhirnya kesampaian juga. Hal itu terjadi tepat setahun setelah saya membaca artikel tentang dirinya.

Saya mendapat izin dari perusahaan setelah berdebat panjang dengan Bagian HRD. Saya berdalih ingin menjenguk orantua sakit. Padahal kedua orangtua saya sudah lama tiada...hehehe.

Saya mengunjungi Si Penyair Gunung di rumahnya, Desa Lubuk Puding. Desa itu berada di seberang Sungai Musi. Untuk sampai ke sana harus meniti jembatan gantung. Lutut gemetar ketika menginjakkan kaki di jembatan itu. Jembatan terus menerus bergoyang saat dititi. 

Saya yang ditemani Bang Bes (Bestari Suud), warga Pasar Pendopo Lintang, yang juga penyuka seni. Kami berdua tertatih-tatih melangkah. Sesekali berhenti sambil berpegang erat ke tali jembatan ketika ada sepeda motor melintas. Penduduk setempat sudah biasa mengendarai sepeda motor atau berlari di jembatan gantung itu.

Setelah berjuang melawan rasa takut akhirnya sampai juga di seberang. Seorang penduduk penghuni rumah dekat jembatan dengan penuh riang menunjukkan pada kami rumah Syamsu Indra Usman. Melihat ekspresi penduduk itu saya menyimpulkan bahwa Si Penyair Gunung sangat disukai penduduk setempat.

Alhamdulillah, sampai juga kami di sebuah rumah panggung berukuran cukup besar. Di bawah rumah itu tersandar di tiang sebuah gitar bass besar tanpa senar. Inilah tempat tinggal Syamsu Indra Usman.

Kami disambut ramah sesosok lelaki ramah mengenakan kemeja kotak-kotak biru. Dia mengenalkan diri sebagai tuan rumah. 

"Indra Usman," dia mempenalksn diri. Saya dan Bang Bes pun memperkenalkan diri masing-masing. Dalam sekejap kami terlibat obrolan serius tapi penuh akrab.

Karya Sang Penyair

Setelah ngobrol panjang lebar menceritakan berbagai hal seputar kehidupan penduduk desa, kami diperkenankan membaca karya-karya si Penyair Gunung. Ada puisi, cerpen, kumpulan resep kuliner lokal, dan essai.

Masing-masing karya sudah dijilid dalam bentuk diktat. Tebal diktat ada yang 3 cm dan 5 cm. Kliping karya-karyanya yang pernah dimuat koran daerah dan nasional dijilid tersendiri.

Khawatir karya-karyanya hilang dimakan usia, saya menawarkan membuatkan blog di internet untuk meng-upload sekaligus mendokumentasikan karyanya. Syamsu Indra Usman setuju.

Setelah pulang ke Lampung saya pun segera membuat blog yakni www.penyairgunung.blogspot.com. Kemudian satu demi satu puisi karya Syamsu Indra Usman tayang di internet. Tak kurang 40 karyanya sdh tayang. Proses upload berhenti karena bundel diktat kumpulan puisi serta resep makanan saya kembalikan ke Syamsu Indra Usman karena ada yg ingin mencetaknya di Bengkulu.

Syamsu Indra Usman meninggal dunia tgl 22 Mei 2013. Dimakamkan di kampung halamannya Desa Lubuk Puding, Ulu Musi, Kab. Empatlawang.

Sepanjang hayatnya dirinya didedikasikan untuk kemajuan daerah Lintang Empatlawang. Salah satu buah karya almarhum adalah semboyan Empatlawang "Sangi Keruani Saleng Kerawati". Arti semboyan itu setiap warga Empatlawang dimana pun berada harus saleng kenal dan saling menjaga. Semboyan tersebut dibuat dan disosialisasikan di komunitas masyarakat Lintang Empatlawang di perantauan era 70-an.

Tahun 1998, Syamsu Indra Usman mengumpulkan tokoh-tokoh Empatlawang di rumahnya. Di hadapan para tokoh masyarakat dia menyampaikan gagasan agar Empatlawang menjadi kabupaten sendiri, memisahkan diri dari Kabupaten Lahat. Gagasannya itu kemudian terujud.

Syamsu Indra Usman, merupakan tokoh masyarakat empat lawang, dan salah satu budayawan Sumsel, juga seniman. Dia menjaga adat istiadat yang ada dengan tulisan tulisannya.

Puisi Karya Syamsu Indra Usman

Air keruh kembali keruh / banjiri sungai menjadi air mata / gemuruh di hulu menyeret langkah / menjadi mimpi yang rumit / mengikis buih menghanyutkan lumut. Menjelma pekik memilukan / malam menjadi sangat kelam / meluapkan musibah banjir Galang.

Penggalan puisi berjudul Air Keruh Kembali Keruh dibaca Syamsu Indra Usman dengan hikmat di Desa Lubuk Puding, Kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, pada malam yang dingin, ketika menerima kunjungan wartawan Kompas, September 2006.

Puisi itu ditulis untuk mengenang banjir bandang Sungai Betung, anak Sungai Musi, yang menghantam Desa Galang tahun 1996. Banjir yang menerjang saat warga terlelap pada dini hari itu menyapu habis perkampungan di tepian sungai dan juga menewaskan banyak orang.

Tulisan ini sebagai bentuk apresiasi dan kekaguman saya kepada almarhum Syamsu Indra Usman si Penyair Gunung, Penjaga Budaya Empatlawang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun