Mohon tunggu...
Madjid Lintang
Madjid Lintang Mohon Tunggu... Wiraswasta - Orang biasa yang masih terus belajar.

Di hadapan Tuhan aku hanya sebutir debu yang tak berarti. Pembelajar yg tak henti belajar, dan seorang hamba Tuhan yang penuh dosa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Syamsu Indra Usman, Si Penjaga Budaya Empatlawang

18 Juli 2020   10:44 Diperbarui: 18 Juli 2020   14:19 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurut artikel itu Syamsu Indra Usman adalah penyair yang produktif. Karya-karyanya sudah dimuat di berbagai media daerah dan nasional. Saya merasa kecil, kurang wawasan, kurang adoh dolan. Saya yang penduduk asli Lintang Empatlawang tidak pernah tahu di daerah sendiri ada sastrawan terkenal. Malu pada diri sendiri. 

Di Lampung, tempat tinggal saya setelah dewasa, saya bergaul dengan seniman dan sastrawsn terkenal (Isbedy Setyawan, Syaipul Irba Tanpaka, Christian Heru Sucahyo, Edy Kertagama, Iswadi Pratama, dan Gunawan Parkesit serta Conny Sema).

Ada rasa bangga juga menggelegak di dalam dada. Daerahku yang keras memiliki seorang sastrawan sekaligus budayawan.

Menurut artikel di surat kabar nasional tersebut, Syamsu Indra Usman mendedikasikan hidupnya untuk menjaga dan melestarikan budaya asli Lintang Empatlawang. 

Syamsu Indra Usman mengumpulkan beragam resep masakan lokal dan membukukannya. Dia juga mencatat dan membukukan berbagai jenis tari-tarian dan upacara-upacara adat.

Luar biasa! Saya berdecak kagum. Seketika muncul hasrat ingin segera berjumpa dan berkenalan dengan Si Penjaga Budaya Empatlawang itu.

Berjumpa Sang Budayawan

Impian ingin berjumpa dan berkenalan dengan Syamsu Indra Usman, budayan Empatlawang, yang berjuluk "Penyair Gunung", akhirnya kesampaian juga. Hal itu terjadi tepat setahun setelah saya membaca artikel tentang dirinya.

Saya mendapat izin dari perusahaan setelah berdebat panjang dengan Bagian HRD. Saya berdalih ingin menjenguk orantua sakit. Padahal kedua orangtua saya sudah lama tiada...hehehe.

Saya mengunjungi Si Penyair Gunung di rumahnya, Desa Lubuk Puding. Desa itu berada di seberang Sungai Musi. Untuk sampai ke sana harus meniti jembatan gantung. Lutut gemetar ketika menginjakkan kaki di jembatan itu. Jembatan terus menerus bergoyang saat dititi. 

Saya yang ditemani Bang Bes (Bestari Suud), warga Pasar Pendopo Lintang, yang juga penyuka seni. Kami berdua tertatih-tatih melangkah. Sesekali berhenti sambil berpegang erat ke tali jembatan ketika ada sepeda motor melintas. Penduduk setempat sudah biasa mengendarai sepeda motor atau berlari di jembatan gantung itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun