Jika dulu semasa pemerintahan Orde Baru ada program bernama ABRI Masuk Desa (AMD), Jaksa Masuk Desa, Hakim Masuk Desa, dan Koran Masuk Desa. Semua itu program pemerintah yang bertujuan membantu masyarakat pedesaan dalam pembangunan fisik, mental, dan menambah wawasan mereka di bidang hukum.
Sementara itu, pada masa yang sama segelintir atau sekelompok orang yang berperilaku buruk, suka memeras alias kaum pemeras hanya ada di kota. Dalam melakukan kejahatannya mereka tidak mau masuk desa atau kampung.
Sekarang, setelah zaman berubah, Orde Baru berlalu diganti Orde Reformasi, gerak kihidupan pun ikut berubah. ABRI, Jaksa, Hakim, dan Koran tidak ada lagi yang masuk desa, justru kelompok pemeras yang berkeliaran di desa-desa.
Kelompok pemeras yang ada sekarang dan beroperasi di desa-desa jauh beda dengan pemeras jaman dulu. Jika jaman dulu pemeras bertampang seram, sangar dan kejam, sekarang para pemeras bermetamorfosa. Mereka berpanampilan rapih, terpelajar, dan terorganisasi, bahkan memiliki badan hukum.
Badan hukum mereka ada yang bernama LSM, ada pula yang memakai nama organisasi wartawan. Para anggotanya ada yang menyandang gelar kesarjanaan seperti sarjana teknik (ST), sarjana hokum (SH), dan sarjana ekonomi (SE).
Kelompok ini berkeliaran di kampung-kampung. Mereka memeras kepala desa, camat, kepala SD/MI, kepala SMP/Mts, dan para kepala SLTA.
Tahun 2011 lalu saya ditelepon seorang teman dari Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Pringsewu, Lampung. Dia mengatakan sekolahnya, Mts di salah satu pondok pesantren, didatangi dua orang yang mengaku dari sebuah LSM Anti Korupsi. Kedua orang itu menuduh kepala MTs menggelapkan atau menyimpangkan dana BOS dari pemerintah. Mereka mengancam akan memperkarakan sang kepala MTs.
Kepala MTs tentu saja ketakutan setengah mati dan minta tolong jangan diperkarakan. Mendadak terbayang dalam otaknya pintu penjara dan berita tentang korupsi di sekolahnya yang tayang di televisi serta terbit di media massa. Si kepala sekolah, kata teman saya, tidak menyimpangkan dana BOS, tetapi dia tetap saja takut setengah mampus.
Kedua orang yang mendatangi kepala sekolah itu mengatakan bersedia membantu asal si kepala sekolah mau menyediakan sejumlah uang untuk mereka sebagai uang damai. Si kepala sekolah pun setuju dan menyatakan akan memberi uang Rp.3,5 juta asal dia tidak diganggu lagi. Mereka pun kemudian menyepakati waktu penyerahan uang, yakni tiga hari setelah hari itu.
Saya sudah berpesan kepada teman yang juga guru di MTs tersebut agar menyampaikan kepada kepala sekolahnya untuk tidak memenuhi permintaan para pemeras tersebut. Sebab, kata saya, tuduhan mereka tidak mendasar. Lagi pula itu hanya gertak sambal.
“Mereka tidak bisa memperkarakan siapa pun karena itu bukan wewenang mereka. Kalau memang mereka LSM anti korupsi untuk apa mengancam? Tentu mereka langsung memperkarakan jika memang ada penyimpangan,” kata saya kepada teman saya itu.
Tetapi, sayang sang kepala sekolah sudah kadung ketakutan dan sudah menyediakan uang. Ketika tiba hari yang dijanjikan dia benar-benar menyerahkan uang tersebut.
Beberapa hari lalu saya kedatangan teman yang lain, kebetulan dia kepala SMP swasta di Kecamatan Sendang Agung, Kab. Lampung Tengah. Teman yang satu ini mengutarakan kecemasannya atas ulah sekelompok orang yang mengaku wartawan dan mendatangi sekolah-sekolah.
“Mereka menggertak dan menakuti-nakuti kepala sekolah dan ketua komite. Teman saya kepala SD di Sendang sudah kena Rp.5 juta,” kata teman saya itu. Dia minta pendapat saya bagaimana cara menghadapi orang-orang seperti itu.
Saya yang sudah menjadi wartawan sejak tahun 1987, menyarankan kepada teman tersebut agar tidak mudah tunduk pada oknum-oknum yang mengaku wartawan tersebut. Saya katakana padanya bahwa orang-orang itu bukan wartawan asli. Boleh jadi mereka punya media (tabloid mingguan atau bulanan), tetapi mereka tidak bisa membuat berita karena mereka tidak pernah dididik menjadi wartawan.
“Itu wartawan “jadi-jadian”. Dulunya hanya tukang ojek atau preman kemudian direkrut sebuah media mingguan dan diberi kartu pers, jadilah mereka wartawan kagetan,” kata saya kepada teman yang kepala SMP tersebut.
“Kalau mereka datang dan mengancam, tantang saja suruh buat berita. Pasti mereka mundur,” kata saya lagi. Orang-orang seperti itu pasti lari terbirit-birit jika ditantang membuat berita.
Teman saya merasa puas mendapat bekal “ilmu” dari saya. Dia berjanji akan melawan jika kedatangan orang-orang pemeras tersebut baik yang mengaku wartawan ataupun yang mengaku LSM.
Bertambah banyaknya jumlah wartawan “jadian-jadian” tersebut merupakan salah satu ekses dari longgarnya peraturan mendirikan sebuah perusahaan pers. Hanya berbekal sebuah yayasan atau badan hukum berbentuk CV dan sedikit modal cetak, seseorang bisa mendirikan perusahaan Koran. Entah dia bekas penjual ikan, tukang sapu jalan atau pun preman jalanan bisa tiba-tiba menjadi pemimpin redaksi.
Orang-orang yang tidak memiliki kompetensi seperti itu yang kemudian merekrut orang sejenis dengan dia untuk menjadi wartawan di korannya. Akhirnya terlahirlah wartawan “jadi-jadian” atau wartawan yang tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai wartawan yang mahir mencari dan membuat berita. Orientasi mereka mencari uang semata. Dengan modal kartu pers mereka bisa memeras siapa saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H