Entahlah saya mungkin sedang mengalami penyimpangan berpikir atau saya sedang, Mie Instant sempat menjadi trend topik saat itu seiring dengan munculnya tulisan mbak Hilda menyoroti tentang sastra instant di kompasiana.
Kritik mbak Hilda harus di lihat sebagai pemicu semangat untuk terus berkarya dengan tetap berupaya memperbaiki kualitas tulisan, bukan malah mematikan kreatifitas.
Kembali ke mie instant, kadang kala kita terjebak pada sebuah kata yang sebenarnya tidak terlalu substansif, kita mungkin menganggap rendahan apa yang di sebut mie instant? Seorang kawan saya pernah berujar tentang temannya “masa gaji tinggi makan mie instant”, benar bahwa sarat penyajiannya sangat singkat tidak lebih dari lima menit sudah bisa di nikmati. Instant kan? Tapi apakah proses menjadi mie hanya butuh waktu 5 menit? Jawabannya pasti tidak.
Baiklah kita lihat perjalanan menuju mie instant itu terjadi, di mulai dari gandum yang di tanam petani di eropa atau amerika sana, gandumnya di panen terus di keringkan, di packing dan seterusnya. Kemudia gandum yang sudah di packing itu melewati perjalanan laut yang cukup lama di bongkar di pelabuhan melibatkan buruh-buruh kapal, di bawah ke pabrik. di pabrik kembali melibatkan mesin-mesin, buruh dan seterusnya. Cukupkah sampai di situ? Ternyata proses untuk menjadi mie masih sangat panjang. Gandum yang tadinya menjadi tepung terigu di packing baru di bawa lagi ke pabrik di buat lagi menjadi mie. Mie yang sudah di kemas di distribusi hingga bisa sampai ke mangkuk kita dan kita bisa menikmatinya secara instant.
Lalu tidakkah kita berpikir bahwa mata rantai yang begitu panjang melibatkan banyak orang dari petani-buruh-angkutan-pabrik hingga sampe ke piring kita dan di sebut mie instant. jadi yang instant bukan mienya tetapi yang mengolah mie-nya dan yang memakannya bukan? Lalu di labeli mie instant
Bila analogi pembuatan mie tersebut di bawah ke tulisan semisal tulisan instant (maaf saya sering melakukannya,meski bukan penulis, katakanlah coretan atau cakaran), maka mengapa kita harus gerah dengan sebutan instant tersebut. bukankah yang di maksud instantnya adalah pembuatannya menjadi tulisan dan mungkin pembacanya itupun kalau menulisnya melakukannya secara instant,membuatnya mungkin begitu cepat. Tetapi jangan kita lupa bahwa proses pergulatan yang di lakukan penulisnya sebelum menghasilkan kata-kata itu kita tidak pernah tahu, bahkan mungkin tidak akan pernah tahu.
Saya yakin tidak sedikit karya yang kita hasilkan tidak terjadi begitu saja, boleh jadi kita sanggup menggoreskan kata-kata itu karena perjalanan panjang kita seperti mie instant itu, kita jatuh bangun dalam kehidupan, terpuruk, bangkit hingga akhirnya terpuruk lagi bahkan mungkin bergelut dengan derita yang berkepanjangan, berdarah-darah dan seterusnya. Mungkin juga kata-kata itukita mampu goreskan karena lagi bahagia cinta di terima sama pacar, berseri-seri senang dapat pekerjaan baru bahkan mungkin dapat rezeki nomplok.
Proses kreatif kita menghasilkan tulisan yang instant, melalui pergumulan panjang yang mungkin tidak pernah di tahu pembacanya. So kenapa kita harus “terganggu” dengan kata instant? Mie saja tidak pernah mengeluh di bilangin instant hehehe. Mari terus menulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H