Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang zaman, demikianlah Shindunata memberikan judul dari beberapa artikel dari Basis yang di Editnya. Pendidikan memang menggelishkan itu yang saya tangkap dari realitas pendidikan yang kita jalani. Banyak hal yang menggelisahkan mulai dari persoalan biaya hingga problem-problem yang terjadi di ruang pendidikan formal itu sendiri.
Pendidikan formal bagi saya adalah sebuah penjara yang mengerikan. Pertanyaannya pasti muncul kenapa saya memilih harus menempuh itu atau mengapa kita mau bercapek-capek di sebuah “penjara” itu, Jawabannya karena beberapa alasan yang mungkin di tanamkan begitu kuat oleh orang tua kita dan lingkungan kita.
Penghargaan masyarakat yang tinggi terhadap orang-orang yang bersekolah adalah salah satu alasannya. Klaim “bodoh” kepada yang tidak menempuh pendidikan masih ada di telinga kita. Alasan kedua adalah karena dengan melalui penjara tersebut kita di iming-imingi sebuah hadiah yang absurd. Pekerjaan bakal bagus, pendapatan bagus, pengetahuan bertambah, atau penghargaan masyarakat bertambah dan mungkin juga kalau melamar anaknya Si A bisa di terima, yang pada dasarnya bercorak materialisme.
Namun dari janji hadiah itu tidak selamanya benar dan terbukti. Gagalkah pendidikan dalam mewujudkan tujuannya. Menurut penilaian saya gagal dan sangat-sangat gagal. Corak materialisme dalam pendidikan kita itulah yang membuat pendidikan kita gagal. Cerdas Intelektual tidak di barengi dengan kecerdasan emosional dan spiritual membawa autput pendidikan ke dalam jurang krisis akhlak yang nyata yang membawa bangsa ini ke dalam keterpurukan yang dalam.
Tidaklah mengherankan seorang Ivan Illich pernah berpendapat: “bahwa sekolah merupakan alat sekelompok elit sosial untuk melegitimasi kekerasan, oleh karena itu hancurkan sekolah-sekolah sebagai lembaga pendidikan formal (mohon di luruskan bila saya keliru).
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada para dosen, para guru, para pembimbing, para asisten sejujurnya mereka telah menempa saya sebagai pribadi yang kokoh, dari merekalah saya mencoba belajar kearifan, dan dari mereka pula saya belajar tentang pentingnya sebuah tanggung jawab sosial, dan dari mereka pula telah mengantar saya menjadi pengangguran. Pengangguran yang harus saya syukuri di tengah-tengah melimpahnya pekerjaan. Secara jujur dari lubuk hati yang paling dalam saya memberi penghormatan yang tinggi dan mulia kepada mereka. Tetapi rasa hormat saya yang tinggi tidak mengurangi pandangan saya bahwa sekolah atau apapun namanya adalah sebuah penjara yang mengerikan. Mungkin itulah salah satu kerapuhan saya, dan kebodohan saya.
Tulisan ini hanyalah sebuah subyektivitas penulis yang mengetengahkan beberapa fakta dari realitas yang terjadi di ruang pendidikan yang di sajikan dalam bentuk imajinatif. Realitas Imajinatif, demikianlah yang penulis baca dari tulisan Arswendo Atmowiloto yang di terbitkan di majalah hai. Cerita ini di sajikan dalam bentuk drama yang lugu dan polos di tengah keterbatasan kata-kata dalam merangkai (baca: bodoh), dan di tulis waktu di “penjara”.
Bersambung....
Note : “Catatan Dari Penjara”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H