Ini tentang sebuah pertanyaan yang lagi-lagi membuat saya bingung. Publish-mempublish sebuah tulisan. Satu hal yang Saya percaya dan Saya yakini kalau sebuah tulisan itu bisa berbeda-beda dalam memandangnya. Kalau anda penyuka masakan daging ayam, mungkin ada yang suka hanya dengan masak opor, ada yang goreng kuntucky, ada juga yang di gulai dan lain sebagainya.
Begitu juga dengan sebuah tulisan, ada yang suka dengan gaya kepenulisan A, B atau mungkin C, itu kalau sudah jadi tulisan. Saya hanya mencoba melihat hal ini. Saya umpakan sebuah tulisan yang di hidangkan seperti daging ayam yang belum di masak menjadi opor ayam, gulai ayam, dan mungkin seperti goreng tepung. Ayamnya sudah di masak asam, tetapi belum di buat opor, gulai dan seterusnya. Nah, dengan masakan ayam asam ini, sebenarnya sudah bisa di hidangkan dan bisa saja di sukai, namun rasanya belum tentu akan menyamai opor, kentucky atau gulai. masih butuh bumbu untuk memolesnya menjadi masakan yang lebih lezat. Dan Tentu untuk menghidangkan di rumah makan kelas menengah pasti palayannya akan canggung dan bisa-bisa di "sumpah-sumpahin".
Saya tarik analogi di atas dalam sebuah tulisan, Anda sudah membuat tulisan dan tulisan tersebut Anda publish di sebuah media katakanlah di Kompasiana. Ketika anda publish tulisan tersebut ternyata hanya lewat tidak mampir di highlight apalagi Head Line atawa terekomendasi. Anda sadar tulisan Anda punya poin penting punya kekuatan, cuma karena cara menyajikan yang mungkin terburu-buru, kurang "bumbu" (gizi), maka jadilah tulisan Anda tidak begitu menarik. Admin tidak mungkin menyajikannya di halaman utama.
Kalau pada kondisi seperti ini bolehkan tulisan tersebut di tarik kembali seperti ayam yang di masak dengan asam tersebut, di beri bumbu kembali, di hidangkan dengan penataan yang rapi sehingga bisa di sajikan di rumah makan kelas menengah.
Artinya tulisan yang di publish ulang tersebut mungkinkah akan berpeluang menempati tempat-tempat terhormat sebagaimana tempat duduk bapak presiden yang selalu di depan, atau minimal seperti tempat duduk Modin yang sedang baca-baca. Atau minimal tempat duduk pak Hansip.
Tapi jangan suruh saya mempublish (republish) ulang tulisan ini, saya bakal tidak bisa tidur memutar otak saya mencoba menghidangkannya karena saya lebih suka ayam yang di masak dengan asam di banding opor ayam, gulai ayam, atau ayam tepung.
hahaha.
Salam Kompasiana.
Note: istilahnya sudah benar gak yah? maklum bahasa Inggris saya centeng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H