Judul yang saya sampaikan di atas bukanlah bercerita tentang ritual tertentu. Mungkin, bagi sebagian pembaca ada yang mengintepretasikan tulisan saya ini terkandung unsur-unsur mistis dikarenakan kosa kata "Ci Fulus", yang berarti sungai uang.
Literally, "Ci Fulus" yang dipakai pada judul kali ini memang ada kandungan uangnya. Hal ini dikarenakan untuk mengawali memakan laksa serta meminum air Ci Fulus tidaklah saya keluarkan uang sepeserpun. Semua sudah ditanggung pemilik acara, komunitas CLICKompasiana dan KPK Kompasiana.
Batutulis, Bogor, Jawa Barat, saat itu.
Kedua komunitas narablog tersebut terpisah secara hobi, namun menyatu dalam kegiatan gathering yang menarik. Baru pertama kalinya saya mengikuti kegiatan dua entitas tersebut. Meski ada rasa canggung, tidak jua membuat pergi rasa penasaran menyusuri sejarah yang terdapat diSesuai itinerary yang dibagikan sebelumnya, titik kumpul kegiatan berada di pintu timur stasiun Bogor. Kita lanjut ke Palasari terlebih dahulu menggunakan mobil sewaan daring menuju suatu tempat makan terkenal yang kebetulan baru saya ketahui.
Namanya Laksa Pak Inin. Beralamat lengkap di Jl. Palasari, Desa Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari stasiun Bogor menuju lokasi kuliner tersebut memakan waktu sekitar 40 menit.
Bagi yang baru pertama kali ke sana kemungkinan besar akan kelewatan jalur, karena posisi tempat makannya yang agak di atas jarak pandang biasa, dengan jalan yang agak sempit, dan berliku. Kendaraan kami pun berputar kembali ke lokasi dan menyentuh titik penurunan penumpang di kontur parkiran yang agak menanjak.
Saat memasuki tempat makan, meja telah dipenuhi pengunjung yang menyantap laksa bersama sate kulit yang telah tersedia sebelumnya. Seluruh piring tampak berwarna kuning. Di dalamnya terdapat potongan ketupat, bihun, dan telur rebus. Keseluruhannya dilapisi kuah santan yang tampaknya diolah dengan kunyit sehingga berwarna kuning. Tampilannya dipercantik bersama taburan serundeng berwarna coklat keemasan di atasnya.
Dengan reflek, saya aduk seluruh isi piring agar menyatu. Lalu muncul sensasi aroma yang memikat nafsu makan saya. Sumbernya berasal dari serundeng yang makin tenggelam ke dalam aliran kuah santan kuning. Tanpa menunggu waktu lagi, saya belah potongan ketupat yang telah teraduk, dan dengan sendok tersebut suapan pertama laksa masuk ke mulut saya.
Menyantap laksa buatan pak Inin akan semakin mantap jika ditambahi dengan tahu goreng isi sayur, atau dengan sate kulit. Dimana-mana sudah menjadi hal yang biasa memakan gorengan bersama santapan berkuah santan. Magnifique!
Semua makanan yang saya nikmati di Laksa Pak Inin seluruhnya ditanggung oleh dua komunitas pemilik acara. Bahkan transportasi menuju Batutulis masih pula ditanggungnya. Kegiatan ini benar-benar mengangkat banyak rasa, mulai dari perkenalan, pertemanan, kuliner, keingintahuan, hingga rasa hormat kepada senior-senior narablog.
Di Batutulis saya saksikan kebersamaan. Baik itu saat memasuki stasiunnya, saat menanjaki jalan menuju prasasti Batutulis, ataupun saat sekedar berkumpul di depan pintu gerbang Istana Batutulis yang terkenal.