"Di Twitter saya, baru selesai bikin status zakat dikomentari remeh seseorang: 'terus..?'", demikian keluh rekan Blogger kami. Mendengar pengakuan tersebut, Ruang Padjajaran 5, Hotel Royal Padjajaran, Bogor, pun disesaki tawa.
Zakat adalah produk utama ajaran Islam yang telah eksis ribuan tahun lamanya. Namun, kehadirannya di masa kini ibarat 1000 hari masa awal kehidupan manusia; sensitif.Â
Saya berbicara demikian bukan dalam rangka menghakimi sang komentator kicauan rekan kami. Perihal ini sehubungan kepesertaan kami di acara Lokalatih Tunas Muda Agent of Change Ekonomi Syariah yang diinisiasi Kementerian Agama (27-29/3) dengan membedah secara mendalam zakat, wakaf, serta problematikanya.
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Kementerian Agama, melihat Lokalatih ini sebagai bagian dari realita yang musti dibangun seiring turunnya tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia dari 2016 hingga 2017.
Salah satu poin visi Kementerian Agama Republik Indonesia adalah berusaha "mewujudkan manusia Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berdasarkan gotong royong". Â Poin ini juga berkenaan dengan peran agama dalam mengentaskan kemiskinan melalui pendekatan ekonomi komunitas.
Materi Islam bukan sekedar ibadah kepada Tuhan; Dirjen Bimbingan Agama Islam yang di bawahi Kemenag pun menjadikan zakat dan wakaf sebagai program utamanya.
Secara definisi, zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan pemeluk agama Islam untuk didistribusikan kepada golongan yang berhak menerima, sesuai yang ditentukan oleh syariat. Wajib hukumnya dikeluarkan, dan wajib pula disalurkan sesuai kriteria bagi penerimanya.Â
Pilar pokok ekonomi dalam agama ini bukanlah mainan. Para pemeluknya tidak dapat membantah perintah zakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keyakinannya. Karena jika demikian, ia telah keluar dari agama.
Sedangkan wakaf, meski tidak wajib, ia-nya dapat dikategorikan sophiaticated(canggih).
Yang menjadikannya canggih adalah, wakaf yang hasilnya puredemi kepentingan umat itu tidak boleh berkurang nilainya, tidak boleh dijual ataupun diwariskan, karena wakaf adalah bagian dari sedekah jariyah.Â
Kalkulasi Dirjen Bimas Agama Islam menyatakan bahwa potensi tanah wakaf di Indonesia tersebar di 435.768 lokasi. Luasnya pun tak tanggung-tanggung, 4,4 juta meter persegi.