Mohon tunggu...
Dhul Ikhsan
Dhul Ikhsan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

"Confidence is fashion" Follow, coment, and like IG : @sandzarjak See you there.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dua Hari Mengeksplorasi "Tanah Abang Explorer" (Day 1)

6 Januari 2018   21:15 Diperbarui: 8 Januari 2018   04:57 1680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Tanah Abang Explorer" (Day 1)

Untuk apa saya ke Tanah Abang?Itu yang saya tanyakan ke diri saya sendiri di hari pertama tahun 2018. Tidak ada satupun jawaban yang logis kecuali rasa penasaran akibat perang opini yang terjadi di media sosial.

Pada awalnya, saya ungkapkan rencana ini ke kakak perempuan saya. Ajaibnya, dia malah merespon cepat dengan memesan pakaian untuk kedua anak perempuannya dengan menitipkan uang kepada saya. Dan lebih terkejutnya lagi, salah satu dari keponakan saya memaksa ikut bersama mengeksplorasi Tanah Abang. What a coincidence!Tema perjalanan saya ini memang agak menyangkut pro-kontra kebijakan dipakainya sebagian badan jalan depan Stasiun Tanah Abang oleh PKL. Ide yang muncul dari buah pikir wakil gubernur DKI Jakarta, Sandiaga Uno, ini langsung mendapat cibiran segera setelah dijalankannya program. 

Bagi saya yang lahir dan tinggal di Jakarta, lucu kiranya tidak pernah melihat dan merasakan sendiri kondisi pasar tekstil terbesar di Indonesia ini, serta ikut-ikutan beropini tanpa bukti.

Perjalanan saya bukanlah dalam rangka memihak salah satu pihak. Saya mencoba menilainya dari hal-hal yang saya lihat, dengar, dan rasakan secara langsung. Maka dari itu, saya rencanakan untuk tidak menghimpun informasi apapun via online sebelumnya, menghapus segala syak wasangka, dan akan mencari tau sendiri dengan lebih banyak bertanya ke orang-orang, termasuk pegawai Trans Jakarta, saat misi eksplorasi ini dimulai.

2 Januari 2018; pkl. 11.16 Wib

Saat itu, langit di Utara Jakarta tampak terik. Saya bersama keponakan perempuan saya menaiki APB 02 menuju Terminal Tanjung Priok. Sengaja saya ambil bus dari halte pemberangkatan awal agar mendapatkan kursi kosong tanpa drama. 

Tujuan awal saya adalah menaiki Bus Trans  rute Tanjung Priok - Penjaringan. Seingat saya, untuk menuju Tanah Abang dari Tg. Priok harus transit dulu ke Kota.

Di muka halte Tg. Priok, saya sempatkan bertanya kepada petugas karcis di sana mengenai kebenarannya. Mereka mengiyakan perihal tersebut seraya menambahkan, "nanti naik lagi yang ke arah Sarinah, pak."

Ok, clue pertama didapat. Tapi saya masih bimbang karena jawaban yg diberikan dua gadis berkerudung itu diiringi tawa cekikikan. Setibanya di halte Kota Tua, kembali saya bertanya kepada pegawai Trans-nya dengan pertanyaan yang sama.

"Nanti bapak naik lagi ke Sarinah. Terus nyambung ke Tanah Abang," jawab sang petugas.

"Naik dari Sarinah ke Tanah Abangnya turun halte atau ada bus Trans lagi?"

"Ada Bus Trans," dengan logat Bataknya yang khas.

Menunggu bus koridor satu di waktu jam istirahat siang memang menguras kesabaran. Sepanjang menggunakan layanan Trans Jakarta dari pertama kali hingga sekarang, bus tersebut kebayakan hanya 'selonong bae'. Ada mungkin lebih dari 3 bus jurusan Kota-Blok M yang tidak menghiraukan calon penumpang mereka yang penuh mengantri. Entah kenapa?

30 menit menunggu semenjak pukul 12 siang, dan akhirnya kami dibukakan pintu memasuki bus. Perjalanan menuju Sarinah tidaklah sampai 15 menit. Lalu, kembali kami harus menunggu lama bus rute Pasar Minggu - Tanah Abang. Ini benar-benar membosankan. Sampai-sampai keponakan saya selalu nyerocos tiap kali ada armada datang.

Tiba-tiba seorang bapak nyeletuk di belakang, "lama-lama busway bikin kesal juga, ya."

Orang-orang yang mengantri di pintu dua terdepan halte Sarinah memandangnya. "Bapak mau kemana?" saya tanya.

"Tanah Abang."

"Saya juga." Kami pun hanya saling lempar senyum setelah itu, dan tidak melanjutkan komunikasi.

Waktu menunjukkan hampir pukul 13.30 Wib. Menunggu lagi hingga kedatangan bus  di pukul 2 siang adalah sebuah kesia-siaan bagi saya. Jadilah saya berinisiatif turun dari halte dan mencari taksi ke lokasi yang dituju.

Saat taksi biru kami mendekati Blok A, Pasar Tanah Abang, saya mengeluhkan kemacetan yang terjadi di sana.

"Ini mah masih mending, pak." Seru sang supir.

"Memang biasanya parah ya, pak?"

"Kalau beberapa tahun ini sih, gak separah kayak yang dulu. Sekarang nih, masih agak sepi. Mungkin karena masih liburan tahun baru." Jelasnya.

Saya pun langsung bertanya ke pokok misi saya ke Tanah Abang, "Program yang PKL itu makin bikin parah kawasan ini gak sih, pak?"

"Sama aja sih, pak. Gak ada perubahan. Kalau macet, ya macet aja kayak biasa."

Padatnya jalanan di Blok A pun mulai berkurang selepas mobil kami berbelok ke arah Blok E. Sang supir menurunkan kami di haltenya yang dipenuhi PKL. 

Pedagang-pedagang itu terlihat menggelar barang dagangannya secara acak. Tapi yang saya sesalkan adalah, ada dari mereka yang memonopoli bangku halte untuk berjualan. Kami pun musti berdiri menunggu datangnya Bus Tanah Abang Explorer.

PKL memenuhi halte bus Blok E Tanah Abang
PKL memenuhi halte bus Blok E Tanah Abang
Beberapa menit kemudian, bus yang ditunggu pun datang. Kedua pintu bagian kirinya terbuka elegan. Kami pun masuk dari pintu belakang, dan baru saya ketahui bahwa pintu tersebut difungsikan bagi penumpang yang turun. Sedangkan bagi yang ingin masuk, wajib menaikinya di pintu depan. Saya rasakan tatapan penumpang dan petugas bus mengarah ke saya. Maafkan ketidaktahuan saya ya, wahai sedulur..

Pemberhentian terakhir bus kami tepat di depan tangga stasiun Tanah Abang. Segera setelah turun saya mengabadikan bus explorer pertama yang melayani saya. Baru saja memotretnya sekali, di belakang saya terdengar bisikan seseorang, "foto yang itu juga, tuh..".

Saya mencari-cari spot yang dimaksud bisikan orang yang sambil lalu itu, dan saya temukan seorang pengemis berjongkok di depan tangga, sementara kedua orang anaknya bermain bebas di trotoar.

Apakah di lokasi ini banyak pengemis? Hati saya bertanya-tanya. Ternyata tidak. Sepanjang saya menelusuri trotoar dan jalan yang dipakai PKL dengan tenda merahnya itu, tidak saya temui para peminta-minta ataupun pengamen mengganggu pengunjung dan pedagang di sana.

Meski langit dihinggapi panas terik, pengunjung tak kehilangan semangat berbelanja di tenda-tenda PKL di depan stasiun Tanah Abang itu. Sepertinya, kawasan ini menjadi surga belanja. 

Selain dari mereka ada pedagang asongan keliling yang menjajakan makanan ringan dan minuman dalam kemasan botol. Saya juga sempat masuk agak ke dalam demi mencari rok anak kecil seumuran 9 tahun. Lalu, saya balik menelusuri sepanjang ruas jalan yang digunakan PKL tenda merah untuk mencari topi yang diingini keponakan saya. Sayangnya, tidak ketemu.

Penuhnya pengunjung tenda merah PKL Tanah Abang
Penuhnya pengunjung tenda merah PKL Tanah Abang
Kemudian saya agak terkaget ketika ada motor membelah kerumunan pembeli di sana. Motor itu ternyata milik salah satu pedagang yang ingin keluar menuju Blok G. Memangnya diperbolehkan, ya?Saya kemudian menghindari motor tersebut dan keluar dari sana dengan melompat verbooden; menyebrang ke trotoar jalan.

Pasar tetaplah pasar. Sentral perputaran uang di mana semua orang ingin mendapatkannya meski hanya berupa cipratan rupiah. Konsep yang dibangun oleh Pemerintah Daerah DKI saat ini memang terlihat sedikit berantakan, meski idenya cukup menguntungkan PKL dan pedagang asongan, atau yang disebut pedagang kecil.

Tapi saya menyaksikan pedagang asongan di sana tampak tidak bisa diatur. Di trotoar, di garis batas trotoar, di aspal yang semestinya menjadi jalur bus, mereka mangkal atau sekedar lalu lalang. Semenit kemudian saya menyebrang, terdengar instruksi salah seorang Satpol PP meminta pedagang-pedagang asongan itu menjauhi aspal jalur bus explorer. "Ayo pak, jangan dagang di sini. Walikota sebentar lagi mau datang."

Pedagang asongan tertidur di jalur yang semestinya diperuntukkan bus
Pedagang asongan tertidur di jalur yang semestinya diperuntukkan bus
Jadi harus menunggu walikota inspeksi dulu baru Satpol PP ini bergerak, ya? Lagi-lagi hati saya ngedumel. Ya sudah lah, mending saya ambil saja potret motor Dishub yang terparkir di aspal jalur bus itu.

Keponakan saya yang masih kepengen topi minta dibelikan meski tidak ditemukan di sepanjang ruas PKL tenda merah itu. "Topi yang kayak waktu naik bus pertama kali itu; di situ." jelasnya.

Saya pun langsung tersadar. Maksud yang diinginkan gadis kelas 5 SD ini adalah barang seperti yang dilihatnya waktu di halte Blok E tadi. Kami pun bergegas mengambil karcis gratis dari petugas dan memasuki pintu depan bus explorer.

Keponakan saya berpose di depan trotoar Stasiun Tanah Abang
Keponakan saya berpose di depan trotoar Stasiun Tanah Abang
Begitu bus belok kiri memasuki kawasan Blok G Pasar Tanah Abang, saya saksikan kembali padatnya jalan akibat kendaraan yang menumpuk. Dari balik jendela saya melihat betapa sepinya gedung Blok G tersebut, dan betapa sibuknya trotoar jalan di seberangnya.

Begitu memasuki kawasan Blok B Pasar Tanah Abang, jalanan tidak lagi sepadat sebelumnya sehingga bus explorer dapat meningkatkan kecepatan jalan. 

Namun, saya tertegun. Di balik kaca jendela bus saya sempat saksikan beberapa pedagang mengangkat dagangannya dari depan mobil pemadam kebakaran. 

Apakah itu pos pemadam kebakaran? Apakah para pedagang itu jualan tepat di depan mobil blambir itu diparkirkan?Ingin sekali saya turun di halte Blok B yang telah disediakan demi memastikan hal tersebut. Tetapi janji saya kepada keponakan saya lebih penting. Jam sudah menunjukkan hampir pukul 17.00 Wib. Masih ada esok hari untuk mencari jawabannya.

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun