Mohon tunggu...
Sandy Gunarso
Sandy Gunarso Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Komunikasi

Berhenti memuaskan orang karena kepuasan tiada batasnya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

3 Cara Kreatif Menghadapi Anak yang Sedang Alami Mood Swing

1 Maret 2022   17:35 Diperbarui: 3 Maret 2022   12:30 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perasaan anak-anak masih sangat labil, kesenangan dan kesedihan masih silih berganti begitu cepat di dalam diri mereka. Orangtua sebaiknya memahami kondisi anak sehingga mereka dapat mengendalikan emosi sendiri saat menghadapi perubahan perasaan (mood swing) pada sang anak. 

Umumnya, perubahan perasaan pada anak terjadi saat mereka sedang sakit. Bentuk perubahan perasaan ini beragam, mulai dari tangisan, menyendiri, merengek, hingga berteriak-teriak.

Untuk menghadapi perubahan perasaan ini, sebaiknya orangtua perlu bersabar agar tidak membuat kejiwaan anak terluka. Bukan berarti orangtua menuruti semua kemauan anak tanpa batasan jelas berupa aturan dan tata krama. Contoh mudahnya adalah saat anak memanggil orangtua tidak boleh berteriak. 

Untuk itu, saat anak memanggil orangtuanya dengan berteriak tanpa alasan jelas, orangtua harus segera menegurnya. 

Orangtua yang membiarkan sang anak berteriak saat memanggil mereka, sama artinya orangtua membiasakan anak untuk bersikap tidak sopan pada setiap orang dewasa.

Uniknya, sebagian orangtua malah menomor-duakan berbicara dengan anak. Orangtua cenderung menjauhi anak sendiri karena tidak ingin direpotkan dengan beragam kegiatan yang melelahkan dan penuh 'drama'. Akibatnya, hubungan orangtua dan anak menjadi renggang dan keduanya kehilangan rasa saling percaya.

Hubungan antara orangtua dan anak bukanlah sihir atau tipu daya yang dapat terjadi dalam waktu singkat. Butuh proses panjang untuk melakukan banyak kegiatan yang melibatkan keduanya. 

Orangtua dan anak haruslah merasakan suka dan duka bersama dalam berbagai kondisi, sehingga mereka mampu menyatukan pikiran dan perasaan untuk menumbuhkan rasa saling perhatian dan kepedulian.

Perubahan perasaan anak sebenarnya dapat diredam dengan cara-cara yang manis dan penuh kebahagiaan. Orangtua cukup melakukan tiga cara kreatif ini untuk menghadapi perubahan perasaan pada anak. 

Dengan cara ini, orangtua dapat memperbaiki hubungan dengan anak sehingga mereka kembali menemukan kedekatan dan menjalin hubungan baik bersama anak untuk kehidupan yang lebih bahagia.

1. Ikutilah keinginan anak dulu, lalu arahkan sesuai keinginan orangtua

Anak cenderung agresif saat mereka merasa tidak nyaman dalam rutinitasnya. Mereka akan menangis sebagai cara termudah untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. 

Tangisan anak biasanya disertai dengan permintaan yang bertujuan membantunya mengembalikan kenyamanan.

Tangisan anak ditanggapi beragam oleh orangtua. Pada umumnya, orangtua langsung menuruti segala permintaan anak tanpa berpikir panjang. 

Orangtua hanya berpikir cara untuk menghentikan tangisan anak agar tidak mengganggunya. Namun, bagi anak, perlakuan orangtua saat menuruti keinginan mereka di saat menangis, dianggapnya sebagai senjata ampuh. Mereka akan selalu menggunakan tangisannya untuk meminta sesuatu pada orangtuanya.

Tidak salah jika orangtua bertindak spontan saat menuruti permintaan anaknya. Namun setelah itu, orangtua perlu memberikan tanggung jawab pada anak sebagai imbalan atas hadiah yang diterimanya. 

Orangtua juga perlu membiasakan anak untuk mendapatkan keinginannya dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. 

Bukan berarti orangtua tidak ikhlas saat memberikan hadiah pada anaknya, melainkan sebagai salah satu bentuk latihan agar anak mengerti bahwa tidak ada barang gratis di dunia.

Rutinitas baik yang diulang selama bertahun-tahun akan membentuk karakter hidup sang anak menjadi lebih bertanggung jawab pada setiap permintaannya dan tidak sembarang meminta sesuatu sekalipun mereka dalam kondisi tidak nyaman.

2. Alihkan perhatian dan jelaskan alasan dari penolakan

Tantangan kedua saat orangtua menghadapi perubahan perasaan anak adalah permintaannya yang luar biasa. Apalagi saat anak menangis sambil merengek meminta sesuatu. 

Mereka akan berteriak-teriak pada orangtuanya sampai keinginannya terwujud. Tidak jarang, anak sampai berguling-guling di lantai untuk menunjukkan kemarahan pada orangtua yang menolak keinginannya.

Misalkan, saat anak meminta mainan berupa mobil-mobilan dengan sayap besi -- entah dari mana dia melihatnya, umumnya orangtua langsung melakukan dua aktivitas ini sebagai tanggapan pada keinginan anak.

Pertama, orangtua langsung mengalami kepanikan dan berusaha mencari ide untuk menghentikan tangisan anak. 

Orangtua langsung mewujudkan keinginan anak. Jika tidak menemukan mobil-mobilan dengan sayap besi, maka orangtua tetap membelikannya dengan mobil-mobil berbentuk lain. Biasanya, mainan pengganti memiliki harga yang lebih mahal dari pada permintaan anak.

Kedua, orangtua langsung menolaknya dengan kalimat kasar dan penuh amarah. Orangtua biasanya berkata, "Berhenti menangis! Malukan sama orang! Lagian mana ada toko yang jual mobil dengan sayap besi? Memangnya kakekmu yang punya pabrik!"

Tidak ada aturan baku yang melarang orangtua untuk melakukan cara pertama atau kedua dalam memperlakukan anak mereka. 

Namun, alangkah lebih bijaksana jika orangtua juga membiasakan anak untuk menghadapi perubahan perasaannya sendiri tanpa hadiah apapun.

Orangtua hanya perlu melatih mental anak dengan melakukan aktivitas kreatif, seperti mengajak anak bermain sepeda, menonton film di televisi, atau mengajaknya membuat kerajinan tangan. 

Lalu, orangtua menjelaskan alasan penolakan mereka pada anak di sela-sela kegiatannya dengan anak. Anak akan mengerti alasan orangtua yang menolak keinginannya. Lalu, anak akan belajar mematuhi aturan serta terlatih untuk bertindak sesuai aturan.

3. Berhentilah bicara dan mulailah mendengar

Anak-anak biasanya berhenti bergerak saat mereka mengalami perubahan perasaan. Mereka hanya fokus pada kondisi yang membuatnya kehilangan kesenangan. 

Biasanya, orangtua yang melihat langsung bicara tanpa henti. Orangtua cenderung menyebutkan berbagai macam dugaan tanpa dasar untuk menilai sang anak. 

Tidak jarang, orangtua malah menebak-tebak kondisi yang dialami anak tanpa berusaha menanyakan dulu pada anak. Bahkan, orangtua malah mengulangi kesalahan anak di masa lalu untuk menghakimi mereka. Akibatnya, pada beberapa kasus, orangtua yang banyak bicara malah mengalami kegagalan dan membuat kejiwaan anak semakin tertekan.

Sebaiknya, orangtua tidak perlu banyak bicara saat anak menghadapi perubahan perasaan. Orangtua sebaiknya mendampingi anak sambil sesekali menanyakan kondisinya. 

Saat anak mau bicara, orangtua harus meluangkan waktu untuk mendengarkan mereka tanpa bicara apapun. Komentar dan nasihat dari orangtua malah dianggapnya sebagai suara yang mengganggu dan membuatnya tidak nyaman berada di rumah.

Orangtua hanya perlu memberikan perhatian dan ketenangan agar anak merasa nyaman berada di rumah sebab anak cenderung lebih sensitif saat terjadi perubahan perasaan, mereka sungguh membutuhkan tempat yang nyaman untuk meredakan sendiri perubahan perasaannya itu.

Misalkan, saat anak menangis karena dihina temannya di sekolah. Orangtua yang melihatnya tidak perlu panik. Sebab, kepanikan akan membuat orangtua lepas kendali lalu berbicara panjang lebar untuk menghakimi anak. 

Orangtua cukup bertanya alasannya menangis, lalu mendengarkan cerita anak dengan penuh perhatian. Setelah itu, berikan pelukan agar memberikannya tenaga dan semangat kembali.

Tidak semua perubahan perasaan anak harus ditanggapi dengan suara. Apalagi orangtua menanggapi perubahan perasaan anak dengan berteriak. 

Jangan membalas teriakan anak dengan teriakan lainnya. Orangtua bukan sedang berlomba teriak dengan anak, tetapi orangtua sedang mendidik anak untuk menjadi manusia yang santun dan bermartabat.

Orangtua juga perlu mengerti bahwa anak memiliki pemikirannya sendiri. Adakalanya, perubahan perasaan pada anak dapat selesai sendiri saat mereka memiliki teman yang bersedia mendengarkan. 

Jika orangtua tidak mampu menjadi pendengar yang baik dan terus menerus memberikan komentar yang mengganggu anak, maka anak secara otomatis akan berpaling ke orang lain untuk bercerita mengenai penyebab perubahan perasaannya.

Ketiga cara di atas perlu diperhatikan setiap orangtua. Mulai dari keberanian untuk menolak permintaan anak yang tidak bermanfaat bagi kehidupannya hingga kebiasaan mendengarkan perkataan anak tanpa sibuk mencari kalimat untuk menasihatinya.

Orangtua harus memperlakukan anak sebagai seorang individu yang utuh, bukan seperti boneka atau komoditi lain yang dapat diperlakukan seenaknya. 

Perlu diingat bahwa anak juga manusia yang punya kehidupan pribadi. Tidak selayaknya orangtua terlalu dalam mencampuri kehidupan anak meskipun mereka mengizinkannya.

Alangkah lebih baik jika orangtua mampu mengendalikan jiwa dan raganya pada saat memperlakukan anak. 

Orangtua sebaiknya bertindak sesuai porsi yakni sebagai pendamping kehidupan anak, bukan sebagai pengendali atau eksekutor dalam kehidupan anak. 

Dengan porsi yang sesuai pada saat menjalani rutinitas, maka anak akan nyaman di dekat orangtuanya. 

Kenyamanan akan memberikan keleluasaan bagi orangtua untuk melatih anak untuk hidup mandiri dan beradaptasi dalam setiap kondisi perubahan perasaannya sendiri. (FIN).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun