Secara garis besar, permasalahan nelayan ini bisa digolongkan menjadi dua. Pertama, karena masalah struktural. Kedua, karena masalah kultural.
Masalah struktural terjadi karena adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kurang mendukung nelayan. Sementara itu masalah kultural hadir dari kondisi internal nelayan sendiri.
Dalam hal struktural misalnya, dari segi pengelolaan perikanan, Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam. Hal tersebut sangat ironis karena kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar, serta kadung mendengungkan slogan Indonesia sebagai negara maritim dunia.
Pemerintah mempunyai tugas untuk mengeluarkan kebijakan yang lebih baik terkait regulasi akses terbuka perikanan tangkap dan perlindungan terhadap perikanan skala kecil.
Jika hal ini tidak segera menjadi perhatian pemerintah, lautan akan dieksploitasi oleh kapal-kapal besar sehingga mengurangi hasil tangkap nelayan tradisional.
Dukungan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan juga sangat dibutuhkan, misalnya saja dengan memberi asuransi untuk nelayan kecil, hingga adanya kewajiban untuk mendukung usaha yang penuh ketidakpastian ini.
Sementara dalam masalah kultural, kesadaran nelayan untuk mendorong upaya penjagaan ekosistem laut dari penangkapan ikan secara ilegal dan berlebihan harus lebih ditingkatkan lagi. Pasalnya, tindakan yang tidak menjaga kelestarian ekosistem laut malah berujung merugikan semua pihak, terlebih nelayan itu sendiri.
Dampak Sosial dan Ekonomi Wisata Bahari
Selain mengandalkan profesi sebagai nelayan, adanya wisata bahari juga dapat dijadikan sebagai mata pencaharian alternatif masyarakat pesisir setempat.
Terlebih keindahan pulau dan pesisir Indonesia sudah dikenal sampai ke mancanegara. Selain pantainya yang indah, tetapi juga hamparan terumbu karang dengan ratusan spesies laut, hingga hutan mangrove dengan ekosistemnya menjadi panorama yang bisa dengan mudah ditemukan dari Sabang sampai Merauke.Â