M. Romahurmuziy ikut urun rembug soal polemik soal dana haji yang beberapa hari terakhir menyeruak dan viral menjadi bahasan di dunia maya. Polemik menyusul pelantikan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) oleh Presiden Jokowi. BPKH merupakan lembaga yg dibentuk sbg amanat UU No. 34/2014 ttg Pengelolaan Keuangan Haji. Lembaga ini terdiri atas orang-orang berintegritas di Badan Pengawas dan Badan Pelaksana yang diseleksi oleh Panitia Seleksi, kemudian dipilih oleh DPR.
Selama ini Dana Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang "waiting list" sebelum terbentuknya BPKH telah diinvestasikan ke instrumen bank. Hal ini dimaksudkan agar dana yang sudah mencapai sekitar Rp 98 trilyun dan terus bertambah dapat memberi timbal balik untuk menyubsidi jama'ah.
Jika dikalkuklasi mestinya keberangkatan haji memerlukan biaya 40jt-an, namun krn setiap jama'ah mendapat imbal hasil dari investasi, maka mereka hanya membayar 30jt --an. Imbal hasil selama ini tentu tidak sesederhana Rp 98 trilyun x 14% bunga pinjaman per tahun atau Rp 14 trilyun per tahun. Dari imbal Rp 14 trilyun & 200rb-an jama'ah haji per-tahun diasumsikan keberangkatan jama'ah mestinya gratis? Logika hitungan seperti itu menyesatkan. Karena investasi dana haji selama ini hanya ditanam di instrumen bank yg super aman yaitu deposito atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Krn itu imbal hasil dana haji hanya di kisaran Sukuk atau BI rate yg saat ini sekitar 5-6% per tahun. Ke depan, seiring imbal hasil yg bertambah krn akumulasi setoran calon jama'ah, dipastikan BPIH akan semakin turun atau tidak mengalami kenaikan.
Soal komponen apa saja yang boleh di-BPIH-kan inipun harus didasarkan atas persetujuan Komisi Agama di parlemen. Karena keputusan ttg besaran BPIH selalu didasarkan atas konsultasi Pemerintah dalam hal ini Kemenag, kepada rakyat dalam hal ini komisi 8 DPR.
Pasca lahirnya UU No. 34/2014, investasi dana haji harus didasarkan prinsip syariah, tdk boleh lagi di instrumen bank konvensional. Pasca BPKH terbentuk, dana haji lebih dioptimalkan utk aneka investasi syar'i dg tujuan meningkatkan imbal hasil namun tetap aman. Hasil pengelolaan keuangan haji disamping untuk se-besar2 kepentingan jama'ah, diharapkan juga bermanfaat utk rakyat banyak. Seperti peningkatan kualitas penyelenggaraan haji, penurunan Biaya BPIH & kemaslahatan jama'ah haji lainnya, di satu sisi. DiSisi lain, ditanam di emas, SBSN, obligasi syariah, investasi terkait haji, atau pembangunan infrastruktur, yg sdh terbukti berjalan imbal hasilnya.
Instrumen investasi keuangan haji mesti beragam untuk menyebar resiko, krn ini dana calon jama'ah haji, BUKAN milik Negara. Pelaksanaan investasi harus penuh kehati2an, yg terpenting harus memenuhi prinsip2 syariah dan perundang-undangan yg berlaku. Beberapa pihak yang menolak dan memasalahkan investasi menggunakan Dana BPIH , ada perlunya mereka membaca Keputusan Ijtima' Fatwa MUI 2012. Tepatnya Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV/2012 tentang status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Disebutkan: dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dlm rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yg produktif. Diantaranya penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk lainya.
Fatwa MUI 2012 tsb sejalan dg aturan perundang-undangan terkait pengelolaan dana haji. UU Nomor 34/ 2014 mengatur, BPKH selaku Wakil menerima mandat dari calon jama'ah selaku Muwakkil utk menerima&mengelola setoran BPIH.
Terhadap pihak yg berpendapat bahwa pemerintah/BPKH harus meminta izin kpd jemaah haji, scr yuridis tdk lagi perlu. Sebab, utk mengelola dana haji oleh Kemenag/BPKH, calon jama'ah telah mengisi formulir akad "wakalah" saat membayar setoran awal BPIH. Dalam akad tsb, calon jama'ah selaku Muwakkil memberi kuasa kpd Kemenag selaku Wakil utk mengelola dana setoran awal BPIH. Penerapan akad Wakalah sejatinya juga diatur di UU nomor 34/2014 ttg Pengelolaan Keuangan Haji. Plus diatur dg Peraturan Pemerintah.
Kalau hari-hari ini msh ada yg mempertanyakan transparansi dana haji, sebenarnya DPR sudah menjawab keresahan itu. Dengan menerbitkan UU 34/2014 yg mengatur tata kelola keuangan haji yg memenuhi prinsip-prinsip good corporate governance. UU 34/2014 memenuhi tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan kredibilitas pengelolaan keuangan haji. Bahkan Badan Pengawas dan Badan Pelaksana BPKH saat ini berisi kombinasi ideal dr eks birokrat, akademisi, bankir, dan wakil2 umat. Yang memilih BPKH adalah juga Komisi Agama DPR RI, setelah diseleksi ketat oleh Panitia Seleksi.
Kalau hari-hari ini masih ada yang memasalahkan pengelolaan keuangan haji, saya melihat itu lebih karena faktor politis, bukan karena aspek yuridis. Aspek politisnya adalah, upaya tak berkesudahan memperhadapkan pemerintahan ini kpd umat Islam. Dimulai dr kontestasi tak berkesudahan sejak pilpres 2014, diikuti dg upaya deligitimasi keislaman Presiden Jokowi. Padahal, sejak 17 Agustus 1945, republik ini tidak pernah dipimpin oleh seorang non-muslim. Tp selalu ada saja sebagian umat Islam yg mengatakan, rezim A atau B dan seterusnya ini berhadapan dengan Islam. Yang patut ditanyakan adalah Islam yg mana?
Segala yg disampaikan oleh pak Jokowi atau pemerintah, hampir selalu dibelokkan untuk diperhadapkan pada Islam. Bahkan msh ada yang memviralkan soal PKI yang seolah 'hidup kembali', padahal itu ilusi dan se-mata2 agitasi politik. Tentu agitasi ttg hidupnya kembali PKI juga untuk kepentingan politik yang menyuarakan. Jadi ini soal manuver politik sampai-sampai harus ada yang minta maaf diatas kertas bermaterai krn agitasinya soal PKI. Lebih baik demikian daripada menyesatkan.