Dahulu jika ditanya tentang cita-cita yang diinginkan, tidak pernah sekalipun terbersit dalam pikiran ini untuk menjadi seorang guru. Aku lebih memimpikan untuk menjadi seorang karyawan di perusahan industri berskala nasional maupun internasional.
Namun, perjalanan hidup selalu tidak pernah bisa terduga. Gagal diterima pada fakultas teknik di universitas yang aku inginkan sempat membuatku kecewa dan patah semangat.
Setelah melewati proses diskusi bersama orang tua dan keluarga, pendidikan matematika pun akhirnya menjadi pilihan terakhir untuk aku melabuhkan jenjang pendidikan di tingkat universitas. Satu hal yang aku syukuri pada saat itu adalah masih bisa mengenyam pendidikan di bangku kuliah, yang mungkin tidak semua orang memiliki kesempatan tersebut.
Proses kuliah yang aku jalani menjadi bagian terpenting dalam hidupku yang tidak akan pernah aku lupakan. Harus hidup mandiri dan jauh dari kelurga menjadi tantangan tersendiri bagiku kala itu.
Beradaptasi dengan lingkungan yang baru, hidup berdampingan dengan berbagai karakter orang yang aku jumpai di kampus maupun dunia di luar kampus. Semua itu menjadi proses pendewasan yang aku maknai sebagai langkah menuju kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.
Awalnya semua berjalan baik-baik saja, aku cukup menikmati menyandang gelar seorang mahasiswa matematika, jurusan yang disegani banyak orang dan memiliki reputasi baik di pandangan masyarakat.
Hingga pada suatu momen, memasuki tahun ketiga masa perkuliahan, aku mulai merasa bosan dan tidak memiliki arah, kemana akhir dari proses perkuliahan ini akan berlabuh. Ini berkaitan dengan profesi seorang guru yang akan melekat padaku setelah lulus nanti.
Aku memang tertarik dengan hal-hal yang berkaitan dengan matematika, tapi untuk menjadi seorang guru matematika, yang harus mengajar di dalam sebuah kelas besar, belum pernah terbayangkan dengan pasti dalam benakku pada masa itu. Saat itu aku berfikir bahwa aku telah melangkah jauh pada satu hal yang menurutku keliru, yakni salah dalam memilih jurusan.
Di tengah polemik batin akan hal perkuliahan, muncul masalah lain yang tak kalah membuat pikiran dipaksa untuk bekerja tidak pada batas wajarnya. Kesulitan ekonomi seakan menjadi ancaman baru dalam proses pendidikan sarjanaku. Kiriman bulanan mulai tidak menentu, yang akhirnya membuatku harus memutar otak bagaimana caranya agar bisa tetap survive pada keadaan yang sulit tersebut.
Membatasi diri pada hal-hal konsumtif, hingga menjatah pengeluaran sehemat mungkin, menjadi hal biasa yang kerap aku lakukan pada masa-masa yang tidak mudah itu.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk mencari pekerjaan paruh waktu guna  mengatasi masalah finansial yang kualami. Hitung-hitung mencari suasana baru di tengah kerunyaman akan masalah yang tengah menghampiri. Menjadi seorang karyawan di sebuah kafe, magang sebagai wartawan di sebuah kantor surat kabar, adalah bagian dari pekerjaan yang pernah aku geluti.