Aku juga mulai membuka les private matematika bagi siswa SMP atau SMA, hingga mencoba tawaran mengajar dalam kelas kecil di beberapa tempat bimbingan belajar. Mampu mendapatkan penghasilan sendiri membuatku sedikit terlena, hingga sempat memiliki keinginan untuk tidak melanjutkan pendidikan.
Namun, di satu sisi aku berfikir, dengan gelar sarjana akan lebih membuka peluang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, selain itu sangat disayangkan jika harus berhenti kuliah di tengah jalan dengan segala perjuangan yang telah dilewati.
Tidak ingin mengecewakan orang tau dan keluarga, serta membuat mereka bangga menjadi motivasiku untuk tetap semangat menyelesaiakan apa yang telah aku mulai. Dengan usaha dan kerja keras, serta semangat dari orang-orang terdekat, akhirnya aku bisa menyelesaikan studi di jenjang perguruan tinggi, meskipun dengan bersusah payah. Sarjana pendidikan (S.Pd) menjadi gelar yang aku peroleh dan kini melekat di belakang namaku.
Setelah lulus bukan berarti perjuangan telah usai, justru menjadi langkah awal dan tantang baru untuk memasuki fase yang lebih kompleks, yakni dunia pekerjaan. Karena masih belum memiliki passion yang kuat untuk menjadi seorang tenaga pendidik, aku memilih untuk mencari pekerjaan di luar dunia pendidikan.
Menjadi seorang konselor di sebuah pusat rehabilitasi milik negara menjadi pekerjaan formal pertama yang aku jalani pasca lulus sarjana. Di tempatkan pada rehabilitasi anak, membuatku terpaksa harus kembali bergelut dengan dunia pendidikan, karena prinsip dari rehabilitasi anak adalah mengutamkan hak dasar pendidikan mereka.
Dua tahun bekerja mendampingi anak-anak korban penyalahgunaan narkoba mengajarkanku banyak hal. Lewat perjalanan hidup mereka, yang mencoba bertahan meski keadaan tidak baik-baik saja, dan terjadi di usia yang masih sangat muda adalah hal paling berkesan yang aku dapat dari mereka. Hal ini yang kemudian menjadi titik awal kepedulian dan ketertarikanku pada dunia pendidikan, secara khusus pendidikan bagi anak-anak.
Setelah masa kontrak sebagai konselor berakhir, awal Februari 2019, aku diterima menjadi seorang guru matematika di sebuah SMA swasta di Samarinda. Cara berpikirku mulai berubah, menurutku menjadi seorang tenaga pendidik adalah pekerjaan yang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Tidak semua orang mampu menjadi seorang guru, diperlukan skill khusus dalam menghadapi seorang anak atau murid.Â
Beruntungnya, hal itu sangat terasah dengan baik saat aku menjadi konselor, setiap harinya selalu diperhadapkan pada tantangan untuk mengatasi anak remaja dengan kondisi dan pola pikir yang tidak stabil akibat dampak penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Selain itu, ilmu matematika yang aku punya tidak akan ada artinya jika tidak dibagikan untuk mereka yang membutuhkan, maka bulatlah tekadku untuk menjadi seorang tenaga pendidik.
Kini, hampir dua tahun perjalananku menjadi seorang guru. Masih sangat baru memang, namun banyak nilai kehidupan yang telah aku dapatkan. Lewat apa yang sudah Tuhan anugerahkan dalam hidup ini, aku ingin membagikannya dengan murid-muridku di sekolah.
Menjadi seorang guru mengajarkanku untuk tidak pernah lelah dalam mendidik dan senantiasa berbagi, memberi, serta menyantuni murid-murid yang aku ajar. Menyantuni dalam hal ini, konteksnya tidak hanya dalam bentuk materi melainkan ada aspek nonmateri yang juga tidak kalah pentingnya diberikan kepada seorang anak.