Mohon tunggu...
Sandy Idhar Rosydi
Sandy Idhar Rosydi Mohon Tunggu... profesional -

Sandhi Idhar Rosydi, bersemangat menjalani hidup, bersungguh-sungguh dalam menjalani ketetapan illahi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Aku Pemuda

30 Januari 2014   14:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:19 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Korupsi dengan berbagai macam bentuknya seakan tidak terhindar lagi dalam kehidupan di negeri Indonesia ini. Untuk urusan Tilang oleh Polisi kita mungkin lebih memilih jalur "Damai" dari pada menempuh jalur yang lebih bermartabat. Untuk urusan membayar pajak kendaraan bermotor daripada melalui jalur berliku nan panjang lebih baik "damai" di tempat. Ini mungkin sebagian dari fenomena ketidak jujuran yang entah darimana pangkalnya untuk dapat diselesaikan.

Lekatnya predikat pemuda sebagai generasi penerus bangsa tidak terbantahkan lagi. Pada suatu kondisi masyarakat yang  cenderung "Korup" muncul pertanyaan apakah pemuda bagian dari generasi korup ini. Sulit terbantahkan bahwa pemuda tidak menjadi bagian dari  generai yang korup. Sisi-sisi yang meluap ke permukaan tak terbantahkan fenomenanya bahwa pemuda adalah penerus generasi korup.  "mencontek serentak" di Ujian Nasional adalah bagian yang terorganisir dari "cara" mendidik "Anak Indonesia" menjadi seorang yang Korup. Slogan anak-anak kita adalah "Lebih Baik Mencontek" dari pada "Tidak LULUS". Harga Kandidat "Lulus" lebih mahal dari sebuah  nilai "Kejujuran".  Anak mulai sekolah dasar hingga sekolah menengah bagai sampai perguruan tinggi diberikan stimulus untuk menjadi seorang yang tidak jujur. Kalu sudah demian buat apa kita sekolah. Lain mencontek "keberanian" ditunjukan anak negeri ini. Mulai berani menjadi "Beringas" dalam Ajangnya sampai pada  berani "Menelanjangi Diri" dalam program hubungannya dengan lawan jenis. Pemuda "Beringas" tak terbantahkan lagi tawuran menjadi tren-tren pemuda "ultra" . Kalau tidak berani tawuran bukanlah pemuda namanya. Kalau tidak mau menelanjangi diri bukan pemuda namanya.

Lepas dari fenomena sosial, masuk pada "dunia maya"  menjerit-jerit rasanya. Terlalu banyak tontonan di Negeri ini yang terlalu mendidik. Siang Malam stasiun telvisinya isnya "Joget" Semua entah joget Ces*r lah, muncul lagi Oplos*n lah. Laps joget lari ke "Sinetron",  dari jaman siti nurbaya isinya sinetron ya, ada ibu tiri yang jahat sama anaknya, Cinta SMU lah atau "misteri gunung berapi" begitulah sinetron. Tak tertarik pada Goyangan atau "Sinetron" larilah hati ini pada "Hipnotis". Ow ow ow semua berlomba-loma untuk menghipnotis diri. Dengan percaya diri menyampaikan "AIB" ke Publik.
Fenomena-fenomena ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari negeri ini. belum ada gerakan membangun gerakan pemuda nasional. Belum terhadapat Penguatan memori "Berani Jujur" seperti semboyan pegiat anti Korupsi yakni "Berani Jujur Itu Hebat". Tidak ada pula penguatan "Pemuda Pekerja Keras", "Pemuda "Ulet"" yang ada mungkin "Pemuda "Uler".  Kalau sudah sedemikian rumitnya mau di bawa kemana anak bangsa ini? Sulit menjelaskan dengan begitu banyak variabel yang harus diurut untuk menyelesaikan masalah kepemudaan. Turut berduka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun