Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bangku Biru Taman Kampus

15 Februari 2017   06:43 Diperbarui: 15 Februari 2017   07:31 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jatinangor, 2004

Udara kampus terasa sejuk sore hari ini. Apalagi sambil duduk santai di bangku biru, bangku favorit mahasiswa kimia untuk bersantai, melepas penat, melepas lelah. Bangku biru berada tepat di bawah rimbunnya pepohonan. Memang sengaja dibangun begitu. Dulunya ini hanyalah area kosong dengan tanaman liar, tak terurus. Setelah dibangun bangku biru, sekarang jadi tempat favorit untuk berkumpul, kongkow.
Tidak hanya bangku biru, sebenarnya lebih tepat disebut shelter. Karena bangunan ini beratapkan dak beton, ditopang meja biru yang panjang, dan bangku biru yang memanjang di keempat sisi meja berbentuk elips. Walau ada atap, meja, dan bangku yang semuanya berwarna biru, mahasiswa sering menyebutnya ringkas dengan nama bangku biru.

Posisi bangku biru juga strategis, lebih tinggi dari jalur pejalan kaki, tempat mahasiswa pertanian, peternakan, dan biologi melintas. Kalau sudah mahasiswi pertanian yang lewat, para kimiawan otomatis memadati bangku biru, yang sudah penuh, dengan suitan-suitan gombalnya.

Sore ini ada dua mahasiswi yang sedang mengerjakan sesuatu di bangku biru. Sepertinya bukan mahasiswa kimia, karena Rino tidak mengenalinya. Rino mengenali mahasiswa lima angkatan di atasnya. Dia cukup rajin mengisi buku perkenalan jaman ospek dulu ke para seniornya. Dan kini sudah empat tahun Rino di kampus Jatinangor tercintanya itu, empat angkatan di bawahnya ia kenali cukup baik. Minimal hafal muka. Menjadi senior, bagi sebagian mahasiswa menjadi ajang untuk Je-Pe, alias jual pesona. Label senior dengan bangga disematkan.

Rino berjalan menuju bangku biru. Dua mahasiswi mengambil tempat di sisi dekat jalan turun ke jalur pejalan kaki. Ada satu mangkuk bakso di atas meja. Hm, baru kelar makan bakso si Tutur pasti nih, batin Rino.

Dua mahasiswi tersebut melihat Rino datang, dan memberi anggukan sambil tersenyum. Rino membalas dengan senyuman terikhlasnya. Keduanya melanjutkan menulis, sedangkan Rino duduk tidak jauh dari mereka.

“Faperta, ya…?” Rino memulai pembicaraan.
“Iya, Kang. Numpang duduk ya.” Salah satu mahasiswi menjawab, yang satu masih sibuk menulis.
“Iya gak apa-apa kok, tempat umum ini. Bikin laporan?”
“Nggak, Kang. Saya sih ngebakso si mamang itu tuh yang di bawah. Yang bikin laporan si Pris nih.” Priscilla mengangkat kepalanya, lalu tersenyum, dan lanjut menulis.
“Oo Pris ya, kalau kamu siapa namanya?” Rino sambil mengingat-ingat, sepertinya pernah melihat Priscilla sebelumnya.
“Saya Devi, Kang.”
“Saya Rino. Ya udah lanjut deh, takut ganggu. Jangan lupa mangkoknya balikin, nanti si Tutur nyariin, hehe.”
“Iya Kang nanti sekalian bayar.” Devi mencolek lengan Priscilla, “Pris, dah beres belum? Lama amat sih, Lu, keburu sore nih nanti gak dapet bis.”
“Ngejar bis kemana, Dipatiukur?” Rino menyambung lagi.
“Iya Kang, kan biasanya sore-sore udah jarang. Sering penuh juga.”
“Bentar lagi nih beres, sabar… sabar.” Akhirnya Priscilla bersuara.
“Masih jam empat kok, aman. Tapi sebaiknya emang cepetan, karena setengah jam lagi itu orang-orang di atas beres praktikumnya. Saingan ke Bandung makin banyak nanti.” Jelas Rino sambil menunjuk ke gedung Kimia lantai tiga.
“Oo lagi ada praktikum, Kang?” tanya Devi sambil membereskan mangkok bakso.
“Iya, biokimia.”
“Tapi kok tumben ya sepi di sini, biasanya rame.”
“Iya biasanya emang rame di sini. Tapi kalau jam segini sih masih pada praktikum rata-rata, masih ada yang kuliah juga. Biasanya bubaran jam setengah lima, jam lima.” Rino meneruskan utak-atik handycam-nya, sambil melihat lagi hasil rekam sebelumnya.
“Kang Rino mahasiswa kimia atau fikom, sih? Bawaannya kok handycam.” Tanya Devi heran.
Ditanya begitu, Rino tersenyum. “Ya kimia dong, Dev. Cuma hari ini lagi gak ada asistensi praktikum. Kuliah juga lagi kosong jadwal. Jadi ya dokumentasi kampus aja, sayang momennya. Nanti udah lulus mah gak akan sempet lagi beginian.” Rino mengarahkan handycam-nya ke Devi dan Priscilla.
“Mau di-shoot?”
“Gak ah, tuh Pris aja.” Kata Devi sambil senyum ke Priscilla.
“Udah beres nih, akhirnya!” Priscilla bersuara lagi dengan muka lega.
“Emm, bentar ya dari tadi penasaran. Pris ya, kita pernah ketemu gak sih? Mukamu kayak pernah lihat… tapi, dimana ya…” Rino masih penasaran, muka Priscilla mulai familiar di benaknya.
Priscilla berpikir sejenak, “Masa sih, Kang? Tapi kayaknya iya sih… kayak pernah lihat. Dimana, ya.” Priscilla mengetuk-ngetuk pena di atas jurnal praktikumnya.
“Kamu sih dari tadi sibuk nulis, jadi saya baru lihat mukanya sekarang.” Rino mengarahkan handycam-nya ke muka Priscilla.
“Anak perpus dia mah, Kang.” Goda Devi, Priscilla masih mikir.
“Hmmm…,” Rino mulai menemukan sesuatu dari balik layar kecil handycam-nya. Ia memerhatikan Pris dari layar tersebut. Rambut lurus sebahu, hidungnya mancung sedikit, dagunya lancip. Kulitnya kuning, bukan putih. Matanya agak bulat, dengan alis cukup tebal berbentuk. Rino mulai mengenali ciri-ciri tersebut.
“Kamu… Pris yang dulu pernah pinjem hape saya di bis DU-Jatinangor, bukan ya?” Rino mulai ingat.
“Mmmm…” kedua mata Pris mengarah ke kiri atas, mengingat memori masa lalu.
Rino lalu mengeluarkan handphone miliknya, “Kenal hape ini?” tanya Rino sambil senyum.
“Aaahhh iya! Ternyata Kang Rino yang di bis itu ya…!” akhirnya Priscilla ingat kejadian saat satu bis dengan Rino. “Iya iya, dulu aku pinjem hapenya Kang Rino karena lowbat, kan?!” jawab Priscilla antusias.
“Iya, dulu kamu pinjem hape saya mau nelpon temen di DU minta jemput.”
“Nahhh, temenku itu ya ini, Kang, si Devi ini. Hahaha, duh lucu ya.”
Rino menampakkan ekspresi bingung, “Devi? Kayaknya dulu di telepon manggilnya Ay, deh. Makanya saya kira dijemput pacarnya.”
“Iya Kang, namanya kan Ayu Devi, aku sih panggilnya Ayu sejak SMA. Mungkin di kuliahan dia ingin dipanggil Devi, kali, identitas baru. Hihi.” Tampilan gambar di layar handycam Rino mencairkan suasana di bangku biru. Karena rekaman itu, Rino mulai mengenali Priscilla.
“Hoo, ternyata kalian berdua udah kenal yaa… jodoh nih.” Bisik Devi sambil melirik jahil ke arah Priscilla.
“Apa sih Lu, Ay. Yuk ah, udah beres nih jurnal praktikumnya. Bayar dulu baksonya gih.” Muka Priscilla sedikit memerah.
“Ah modus Lu suruh gua bayar bakso, biar bisa berdua. Gak apa-apa deh, ikhlaaassss gua mah.” Devi makin menggoda Priscilla.
“Udah buruan, dah sore nih.” Priscilla menggamit lengan Devi, menyuruhnya lekas bayar bakso.
Rino memandangi wajah Priscilla, “Berarti waktu kita ketemu itu, kamu masih SMA, ya Pris?”
“Iya, Kang. Kayaknya dulu waktu aku naik bis itu pulang bimbel deh, nebeng dikit sampe Dipatiukur.”
“Sekarang kuliah ambil jurusan apa?”
“Aku di HPT, Kang, hama dan penyakit tanaman.”
“Oo pantes.”
“Pantes kenapa, Kang?”
“Pantesan cantik, hehe. Biasanya asisten lab kimia dasar pada rebutan kalo praktikannya anak HPT, hahaha.” Rino mengeluarkan sedikit rayuannya.
“Ah bisa aja Kang Rino nih.” Priscilla tersipu.
“Eeehh, udah ketawa-ketiwi aja. Bener kan jodoh, huhuhu.” Devi yang sudah beres dengan urusan baksonya, menepuk pundak Priscilla dari belakang.
“Duh, bikin kaget aja sih, Ay. Udah bayar baksonya?”
“Ya udahlah, sengaja lama siapa tahu lagi mengenang peristiwa lama,” kerling mata Devi menggoda Priscilla dan Rino.
“Mm, Kang Rino, kita duluan yah, takut gak dapet bis. Akhirnya ngalamin juga naik bis Jatinangor-DU, hehe.”
“Haha akhirnya ya… oke deh kalo gitu. Hati-hati ya, salam untuk kenek bis yang suka ngulang-ngulang kalimatnya dua kali, ya.” Canda Rino sambil terbahak.
“Hahaha ada ya yang kayak gitu keneknya.” Sahut Priscilla.
“Ya mungkin nanti ketemu.”
“Ini sih gak kelar-kelar namanya. Kasih aja nomer Lu nanti japrian aja.” Devi mengumpan kode yang sangat diharapkan Rino, sambil mengedipkan sebelah matanya.

Mereka pun bertukar nomor handphone masing-masing. Priscilla dan Devi melambaikan tangan berpamitan sambil diabadikan melalui handycam Rino.

Mata Rino menyipit, kedua bibirnya tertarik simetris ke dua ujungnya membentuk lengkungan. Bahagia bukan main dengan kejadian barusan, dan bersyukur dengan peristiwa di bis dua tahun yang lalu.
“Priscilla, akhirnya kita ketemu lagi ya. Bangku biru ini menjadi saksi pertemuan kita.” Mata Rino masih menatap punggung Priscilla yang terlihat semakin mengecil di kejauhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun