Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjumpaan di Bis Jatinangor-Dipatiukur

7 Februari 2017   05:26 Diperbarui: 7 Februari 2017   05:34 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Melihat massa penunggu bis favorit sejuta umat Jatinangor-Dipatiukur, Rino berpikir lagi. Kalau nunggu di sini pasti riweuh, heurin, ngulibek. Dia pilih berjalan kaki agak jauh lagi, supaya bisa naik bis sebelum menuju pangdam. Strategi pasaran, karena beberapa orang juga mempraktikkan itu. Tapi saingan tidak seberat yang di pangdam karena mereka malas untuk berjalan lebih jauh lagi. Yang paling parah, ada yang niat berjalan sampai kampus STPDN (sekarang IPDN), demi mendapatkan posisi duduk dalam bis. Belum ditemukan yang berniat jalan kaki sampai Bandung. Kalau ada, coba kasih tahu Rino. Nanti biar dapat tanda kecakapan khusus dari Pramuka. Hehe.

Sekitar sepuluh orang menunggu di tempat yang sama dengan Rino. Berancang-ancang. Berharap cemas. Semoga masih ada bis terakhir.

Lalu tampaklah dari kejauhan bis Damri tua yang reot. Asap hitamnya ngebul kemana-mana. Bis tua yang terbatuk-batuk. Kosong melompong. Isinya hanya supir dan kondektur yang sedang bergelayut di pintu depan. Kok bisa kosong banget ya. Rino mulai curiga.

“Teu narik, Teh, rek balik ieu mah.” Kondektur menjawab isyarat dari calon penumpang perempuan di ujung sana yang berharap bis itu akan ke Bandung.

“Aya tuh di tukang sakedap deui, tungguan we. Bis ieu mah rek ngopi syantik heula.” Pak Supir menimpali jawaban sang kondektur. Mahasiswi yang tadi nanya cekikikan.

Di pangdam sudah nampak kekacauan massa. Para calon penumpang ada yang berlari, berjalan cepat, menghampiri bis yang sedang memutar. Kondektur dari jauh sudah memberi isyarat tangan “gak narik”. Tapi kerumunan massa tidak peduli. Begitu bis berhenti, kerumunan massa penggemar bis Damri langsung merangsek ke dalam bis. Pilih-pilih kursi dengan bahagianya karena kosong. Kondektur lalu menatap supir. Supir pun menatap kondektur. Mereka saling bertatapan, berkode mata. Kondektur mengangkat alis menjawab kode. Dijawab supir dengan santai, “Keun we antep. Sinah dariuk heula nu tenang. Hehe.”

Kerumunan massa ada yang kakinya masih di tanah, setengah badannya sudah di pintu bis, tangannya sudah menyentuh kursi depan, matanya sudah memandang jatah kursi. Ternyata perebutan kursi tidak hanya di DPR, tapi di dalam bis Damri juga sama serunya.

Ada juga di pintu belakang yang seluruh badan dan jiwanya sudah melewati pintu bis, tapi dia seperti ada yang nahan dari belakang. 

“Eehhh, jangan ditarik dooonggg…” Mahasiswi ini berteriak kesal.

“Mbak, itu tasnya nyangkut.” Ujar orang di belakangnya.

Semua orang di belakangnya tertawa bahagia, dapat hiburan gratis. Si mahasiswi tadi memerah mukanya. Menahan malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun