Mohon tunggu...
Oksand
Oksand Mohon Tunggu... Insinyur - Penulis Storytelling dan Editor

Penulis Storytelling - Fiksi - Nonfiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjumpaan di Bis Jatinangor-Dipatiukur

7 Februari 2017   05:26 Diperbarui: 7 Februari 2017   05:34 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Gak apa-apalah kalo hatiku yang diculik mah, Mir.”

“Iya, diculik supri. Hahaha.”

“Daahh Miraaa…” Rino menanggapi sambil melengos pergi.

***

Pukul lima lebih lima belas menit. Rino masih setengah perjalanan. Sudah tidak terlihat lagi jalan raya. Jalan yang dilaluinya adalah arboretrum tempat praktiknya mahasiswa pertanian. Hijau di sana sini. Biasanya mereka melakukan uji tanam di sini. Dipagari bambu, dilabeli, sebagai tanda sedang penelitian. Agak curam, Rino memperlambat langkahnya. Sebagian paving block sudah terlepas, tinggal tanah. Jika hujan menjadi licin, jika kemarau berdebu. Sore itu cuaca mendukung Rino untuk melewati jalan setapak tersebut, matahari sudah hendak masuk ke garis horizontal.

Hati-hati sekali Rino melompat kecil. Sekarang dia berjalan tepi got saluran air. Di sebelah kanannya sawah milik warga kampung. Sebelah kirinya tebing. Jalan mepet kiri terlalu sempit, sehingga akhirnya harus jalan di beton saluran sisi kanan. Kepeleset sedikit, jatuhlah dia. Kalau jatuh ke kiri, masuk saluran air. Airnya agak bening, cukup bersih. Kalaupun terpeleset, airnya aman, tidak ada yang mengambang. Saluran air sebenarnya tidak lebar, hanya lima puluh sentimeter, tapi tingginya lumayan, satu meter. Lebar beton saluran air untuk ditapaki juga tidak lebar, empat puluh sentimeter saja. Kalau jatuh ke kanan, berarti sukses nyemplung ke sawah. Opsinya tak ada yang enak. Tapi yang paling malu sih, jatuh ke sawah. Gak seberapa sakitnya, tapi malunya yang banyak. Berjalan di sana seperti di atas titian balok keseimbangan. Plus, Rino sedang bergegas.

Cukup panjang jalur itu, sekitar tiga ratus meter. Sebenarnya pendek, jika lurus dan lebar. Tapi jalur ini sempit dan berkelok sehingga terasa lebih panjang. Sesekali Rino menyapa ibu-ibu yang sedang menggerakkan orang-orangan sawah.

“Punten, Bu…”

“Mangga, Sep…” Di tatar Sunda, semua anak laki disapa Ujang atau Asep. Tidak heran nama ini menjamur cukup banyak di Jawa Barat. Sampai-sampai, ada perkumpulan nama Asep. Mungkin nanti bakal ada Hari Asep Nasional. Bisa jadi.

Rino akhirnya keluar dari jalur sawah, memasuki jalur danau. Danau buatan yang biasanya dipakai warga untuk iseng mancing ikan. Atau sekedar berperahu dari drum kosong. Jika sudah menginjak jalan setapak paving block sisi danau, artinya pangdam sudah dekat. Rino mempercepat langkahnya kembali. Dia potong jalur ambil sisi miring pitagoras, manaiki jalan setapak pepohonan yang baru ditanam. Lebih cepat sampai, walau lebih ngos-ngosan, karena jalurnya menanjak.

Pukul lima lebih dua puluh tiga menit. Rino harap-harap cemas apakah masih ada bis menuju Dipatiukur. Biasanya bis terakhir pukul setengah enam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun