Mohon tunggu...
Sandra Suryana
Sandra Suryana Mohon Tunggu... Tenaga Kesehatan - Pekerja

lulusan S1 Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Taktah yang Hilang (Bab 2)

18 Juni 2020   12:30 Diperbarui: 18 Juni 2020   12:21 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

     

" Sekuat apa pun kita, akan ada waktu dimana kaki berhenti melangkah dan otak berhenti berfikir"

         Mei 2011............

Hari yang berat untuk memulai sesuatu yang baru. Aku akan menjadi seorang pembohong besar jika harus ku katakan semunya baik - baik saja.

Perlahan aku membuka mata, menatap dengan dalam pada sinar mentari yang perlahan mendekati wajahku. Sebulan sudah aku hidup dalam mimpi buruk yang tak usai. Malam menjadi harapan terbesarku. Aku berharap terbangun dengan kenyataan yang lebih baik, meninggalkan semua mimpi buruk pada gelap dan sunyinya malam. Semakin aku berharap, semakin aku terlihat bodoh. Semua semakin menyiksa ketika pengharapanku lenyap bersama hembusan angin pagi yang sangat dingin. Keputusasaan semakin merajalelah dalam pikiranku dan perlahan kepercayaan diriku pun menipis dengan sendirinya.

"Sara,,,, Sara,, bangun Sara." Suara itu seketika memecahkan lamunanku. Pintu kamarku pun terbuka, bunyi langkah kaki perlahan mendekati tempat tidurku. "Ehh ibu... Sara baru saja mau keluar kamar setelah membereskan tempat tidur." Aku bangun dan membuka jendela kamarku sambil menarik napas panjang seolah sedang menikmati udarah pagi yang segar. Aku berbalik dan menatap ibu yang sedang tersenyum kecil melihatku. Ibu tahu aku sedang menahan perasaan sedih yang sangat besar. Yah,, setelah kejadian itu, melihat ibu adalah kesedihanku yang sangat besar. Bagaimana tidak..? Badan ibu semakin kecil, muka ibu semakin lesuh, jalanya pun terkadang semakin pelan, senyumnya pun semakin terlihat seperti tangisan. Ibu selalu bersikap kuat, berusaha menunjukkan pada kami bahwa semuanya akan baik - baik saja. 

"Ibu sudah buatkan sarapan pagi untukmu dan adik - adik. Cepatlah mandi dan sarapan sebelum berangkat sekolah."

"Iya bu,,, habis ini Sara langsung mandi bu."

"Sara, nggak apa - apa kan hari ini ke sekolah nggak bawah uang jajan..?" Sambil menahan napas sejenak aku mencoba tersenyum pada ibu.

"Nggak apa - apa bu,, sara kan sudah besar, nggak butuh uang jajan lagi. Uangnya ibu simpan saja, atau kasihkan pada Ison dan Ista." Ibu sejenak tertunduk, diam dan menarik napas begitu dalam. "Oh Tuhan,,, aku kuat,, aku pasti bisa." Gumamku dalam hati sambil menahan tangis. Ibu pasti merasa sangat bersalah dan merasa tidak bertanggugjawab. Sebelum bapak di penjara, kami selalu dimanja. Bapak sangat menyayangi kami, apa pun yang kami minta selalu dia penuhi. Setiap hari di kasih uang jajan karena dia tidak ingin anak - anaknya terlihat menyedihkan dimata orang lain. Mungkin karena hal itu ibu merasa sangat sedih. Aku memeluk ibu sambil tersenyum kemudian beranjak keluar dari kamar. langkah kaki ibu pun perlahan mengikutiku dari belakang. Rumah begitu hening, hanya suara televisi yang terdengar dari ruang makan. 

"Nonton apa dek..?" Tanyaku pada adik bungsu yang sedang tertawa bahagia menonton filem kartun kesukaannya,

"Upin - Ipin Kak." Jawabnya singkat dengan tatapan tetap pada filem kartunya, seolah tak ingin terlewatkan sedikitpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun