Mohon tunggu...
Bilhaq Sandra
Bilhaq Sandra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Bercumbu dengan buku, bercinta dengan tinta. Maka, menulis bukanlah sebuah dosa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia adalah Bara

4 Februari 2022   19:00 Diperbarui: 4 Februari 2022   19:07 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Simaklah bagaimana caraku memandangnya lewat tulisan ini. Lalu, kau bisa simpulkan seberapa jauh aku menyembunyikan kagum di balik canda yang aku tawarkan kepadanya.

Helaian rambutnya yang menipis tersibak oleh angin di teras. Syaraf matanya menegang sebelum meneguk segelas americano. Menjadi kecanduan tersendiri saat bola matanya menyoroti pupil mataku dengan tajam, lalu melembut dan teduh.

Sambil cerita lintas waktu, ia meletakkan sigaret tepat di bibir tengah. Dari garis bibirnya, tersimpul bahwa ia orang yang tidak suka banyak bicara dan gaya, dingin, dan selalu menjaga tata bahasanya sebelum bertutur. Dia, orang paling bersahaja di antara semua laki-laki yang berusaha meruntuhkan dinding. Namanya adalah Bara.

Bara adalah sosok yang paling bersinar melalui pengelihatanku, juru sumat sigaret paling handal, seseorang yang tidak bisa disentuh dengan mudah, terlebih dikendalikan. Kalau kau tidak berhati-hati saat menjabat tangannya, seluruh tubuhmu bisa melepuh. 

Kala itu, di tengah kesibukannya, ia meluangkan waktu untuk minum kopi denganku barangkali hanya satu jam. Mungkin untuk menepati semua janji yang pernah ia buat setahun lalu, menebus segala dosa atas keluputannya untuk mengingat janji-janji itu.

Kali pertama kulitku bersentuhan langsung dengan kulitnya, membawa perasaanku sedikit menegang dan jantungku memompa lebih cepat. Aku menepis perasaan itu dengan wajah datar dan sikap sewajarnya. Kurasakan tulangnya yang dilapisi oleh kulit dan daging yang menipis menyinggung lengan kananku.

Sejak saat itu, aku tidak bisa membohongi perasaan yang selalu kutepis dengan seribu rasionalitas. Pun, aku akan tetap membiarkan namamu mentereng di luar sana. Sementara dalam jangkauanku, kau tak perlu cemas lagi. Kau bisa bersembunyi dari kebisingan yang kau hadapi. Tak akan pusing-pusing aku pikirkan siapa yang hendak kau pilih menjadi kekasih. Peduli setan kau habis bercinta dengan siapa, asalkan hanya aku yang boleh melihat titik lemahmu!

Setelah sesi ngopi selesai, aku mengikuti langkahnya yang tak terlalu panjang, tak juga pendek, seirama dengan langkahku. Punggungnya merunduk, selalu terpaku pada buku-buku kenegaraan dan kepemimpinan. Semakin terkagum atas cita-cita besarnya untuk menjadi pemimpin dari segala pemimpin. Membangun dunia tempat kami berpijak menjadi imitasi surga. Semua adil, bahagia, sejahtera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun