Sebagai orang muda yang lahir besar di tanah Timor ini, saya sedikit merasa malu karena tidak terlalu mengenal tanah sendiri. Dua tahun bekerja di puskesmas kota SoE telah sedikit membuka mata saya tentang tanah lahir ini. Namun harus diakui bahwa cerita yang saya dapat tidak selamanya indah. Saya sering mendapat cerita tentang orang Timor yang sudah sangat tergantung akan bantuan entah dari pemerintah maupun swasta yang mengalir sangat deras sudah sejak puluhan tahun. Bantuan-bantuan yang memberi efek baik yang instan tapi malah membuat masyarakat menjadi malas dan membentuk mental menunggu pertolongan orang. Tidak jarang, saya mendapat cerita atau bahkan mengalami sendiri tentang masyarakat yang susah sekali digerakkan untuk melakukan ini dan itu, yang sejatinya sangat bermanfaat untuk mereka.
Yang saya dengar dari tanah Timor adalah mangan yang dieksploitasi, menciptakan ledakan pekerjaan sesaat, namun setelah batu mangan habis, tinggalah tanah yang makin longgar, sumber air yang makin susah, dan masyarakat yang tak lagi punya kerja. Yang saya lihat dari Timor saat musim panas, adalah tanah kering, dan kelaparan serta susah air. Yang saya saksikan dari Timor adalah lahan-lahan yang dibakar untuk tanam jagung, tanpa memperhitungkan unsur hara yang ikut musnah bersama api yang konon dipercaya baik untuk mempersiapkan tanah. Dan lainnya.
Namun saya tidak menyangka di penghujung 2014 dan awal 2015 suatu kejadian mengubahkan pandangan saya tentang Timor dan membuat benih pengharapan boleh tumbuh dalam hati yang awalnya sudah pupus kering.
Tentang Suku Boti, Suku asli Timor yang ramah, rajin, ulet dan bersih.
Saya diajak oleh tim NET TV Indonesia Bagus untuk live in di Boti selama 4 hari dan membuat liputan tentang keseharian masyarakat Boti. Tentu saja saya menyambut gembira hal ini karena saya sudah lama sekali ingin berkunjung ke Boti, apalagi Yosua sudah beberapa kali pernah ke sana dan menceritakan kearifan suku tersebut.Â
Dan dimulailah petualangan kami dari tggl 30 Des 2014 – 2 Jan 2015. Tim kami ada 4 orang, saya, Siska dan Akbar dari NET, om Din yang menjadi penunjuk arah dan om Feri sopir yang membawa kami.
Desa Boti terletak di Kecamatan Kie, Kabupaten TTS. Jarak tempuh dari kota Soe sekitar 60km, dengan melewati beberapa titik yang rawan longsor dan sedikit bahaya, tipikal jalan di Timor sini. Haruslah yang sudah biasa mengendarai mobil untuk sampai ke Boti. Akhirnya setelah menempuh total perjalanan hampir 2 jam kami pun tiba di gerbang suku Boti. Saya melirik hp dan tidak ada sinyal disana.
Seorang bapatua dengan konde dan selimut serta baju bergaris tanpa memakai alas kaki, membukakan pintu pagar untuk kami. Kemudian kami meuruni tangga batu menuju Sonaf (rumah Raja Boti). Kesan yang saya dapat saat menuruni tangga adalah, asri dan hijau. Banyak pohon besar di kanan kiri, cicit burung dan pekarangan yang bersih, bahkan dedaunan pun hampir tak terlihat di tanah, padahal begitu banyak jenis pohon di situ. Lalu bertemulah kami dengan Usif Raja Boti, Namah Benu. Pria yang selalu tersenyum namun terlihat kharisma dari setiap gerakannya. Raja Boti ini menjadi Raja menggantikan ayahnya yang telah meninggal hampir 10 tahun lalu. Raja Boti yang terdahulu itu sangat terkenal, dia pernah diundang ke istana negara dan sangat disegani oleh Gubernur NTT terdahulu. Beliau meninggal di usia 104 tahun dan digantikan oleh anak laki-lakinya.
Bapa Raja Boti ini memakai pakaian yang mirip dengan bapatua yang tadi membukakan pintu, kemudian saya mengetahui bahwa itulah pakaian adat mereka yang juga adalah pakaian sehari-hari. Baju dan selimut ditenun sendiri dan para lelaki maupun perempuan dikonde rapih tanpa alas kaki. Saya bertanya dengan seorang warga Boti, mengapa rambut mereka dikonde, dan dia tidak tahu jawabannya. Setelah 3 hari disana, saya berkesimpulan, mungkin rambut mereka dikonde karena mereka begitu menjunjung kerapihan dan keteraturan. Keseharian mereka begitu teratur. Akan saya ceritakan setelah ini.
Om Din mengutarakan maksud kunjungan kami ke sini, sambil membawa oko mama yang berisi pinang kering dan buah sirih. Bapa raja mengangguk dan tetap tersenyum ke arah kami. Beliau mengerti bahasa Indonesia tapi susah untuk berbicara dengan bahasa Indonesia. Pembicaraan dilakukan dengan bahasa Dawan, bahasa asli orang Timor.
Kemudian kami berkenalan dengan mama raja, adik kandung dari bapa raja. Wanita cantik yang juga murah senyum, rapih dan terlihat kepemimpinannya sebagai perempuan. Benar saja, beliau yang mengatur urusan ‘dapur’ di Sonaf juga koperasi di Boti. Suku Boti berbeda dengan orang Timor lain, dalam hal kepercayaan. Mereka tidak memeluk agama, tapi mereka hidup damai satu sama lain. Mereka masih sangat memegang teguh adat istiadat Timor yang dekat dengan alam. Pohon tidak boleh ditebang sembarangan, tanah dicangkul baru ditanam, bukan dibakar. Mereka memanfaatkan alam untuk hidup dan berhasil.