Isu mengenai KDRT masih belum marak dibicarakan terutama di Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih menjunjung adat ketimuran dan menganggap bahwa isu ini adalah ranah pribadi, tidak layak dibicarakan di tempat umum apalagi sampai menjadi konsumsi publik. Belum banyak aspek yang kita gali dan kita pahami mengenai KDRT khususnya di negara dengan budaya patrialis seperti di Indonesia. Hanya ada beberapa suara sumbang yang samar-samar kadang mengisi media cetak, televisi atau media sosial. Sebagian besar didominasi atau tumpang tindih dengan gerakan feminisme.
Rendahnya kesadaran masyarakat, minimnya informasi dan dominasi gerakan feminisme dalam menyuarakan awareness seputar KDRT membangun mindset masyarakat yang saya anggap kurang tepat. Masyarakat cenderung menjadi beranggapan bahwa KDRT adalah semata-mata isu perempuan. Memang benar bahwa sebagian besar, tepatnya 94% (menurut data Komnas Perempuan Indonesia tahun 2016) korban KDRT adalah perempuan. Tetapi fakta ini juga memunculkan fakta sampingan yaitu ada 6% laki-laki yang menjadi korban KDRT juga.
KDRT dapat terjadi pada siapa saja, tidak tergantung jenis kelamin, usia, status sosial, status pendidikan, garis keturunan, dll. Siapapun, sekali lagi, siapapun dapat menjadi korban KDRT. Â Meskipun demikian, melalui artikel ini saya ingin mengupas isu KDRT dari perspektif laki-laki yang bukan korban KDRT. Saya akan berusaha untuk tidak bias dalam menuliskan artikel ini mengingat saya adalah seorang perempuan dan saya berharap melalui artikel ini saya bisa memancing respon yang membangun dari para laki-laki mengenai permasalahan yang sering kita anggap masalah rumah tangga pribadi orang.
Mari kita mulai dengan pertanyaan kecil sebagai berikut: pernahkah Anda melihat atau mendengar seseorang disiuli atau digoda ketika sedang berjalan sendirian di pinggir jalan? Saya mengajukan pertanyaan ini secara netral gender. Saya tidak tahu bagaimana dengan Anda para laki-laki tetapi sebagai perempuan saya sering mengalami hal ini. Saya pribadi selalu merasa dilecehkan ketika hal ini terjadi dan saya sudah mengkategorikannya sebagai satu bentuk abuse terhadap perempuan, tetapi saya juga belum punya solusi yang tepat dalam menghadapi hal ini. Menegur saya tidak berani, bela diri saya tidak bisa. Ujung-ujungnya saya hanya berdiam dan tetap berjalan tanpa menengok ke arah orang yang melecehkan saya, meskipun dalam hati saya merasa jengkel sekaligus takut.
Tetapi yang menarik bagi saya adalah saya hanya mengalami hal ini bila saya berjalan sendiri atau dengan teman perempuan lainnya. Saya tidak pernah mengalami hal ini bila saya berjalan dengan laki-laki. Adakah yang aneh dengan hal ini?
Saya lanjutkan dengan pertanyaan berikutnya. Beberapa waktu terakhir ini saya semakin sering melihat video-video beredar di media sosial yang menampilkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh seorang pria terhadap seorang wanita di tempat umum. Bagaimana perasaan Anda melihat hal itu? Jika Anda berada di lokasi kejadian apa yang akan Anda lakukan? Jawaban pertanyaan ini di luar praktek dunia nyata bisa jadi bervariasi. Dalam kenyataannya di setiap video yang saya tonton belum pernah saya melihat ada seseorang yang mengambil tindakan untuk menolong wanita tersebut (maafkan bila saya kudet atau kurang update). Semua orang hanya menonton atau berlalu begitu saja tidak mau ikut campur. Adakah yang aneh dengan fenomena ini? Sementara di sekolah dan dalam agama kita senantiasa dicuci otak untuk selalu bersedia membantu sesama.
Lama saya merenungkan fenomena ini bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa saya sekonyong-konyong tampak lebih rentan bila saya berjalan tanpa didampingi laki-laki dan segera menjadi korban pelecehan di jalanan? Mengapa ketika ada laki-laki yang sedang menunjukkan dominasinya terhadap seorang perempuan tidak ada laki-laki lain yang bersedia menghentikan laki-laki itu? Saya berusaha menjawab pertanyaan ini dengan mencoba memahami perilaku laki-laki. Dan kesimpulan saya adalah: laki-laki menghormati laki-laki lain. Kalian secara insting mengakui eksistensi sesama kalian. Mohon koreksinya bila saya salah.
Saat saya berjalan bersama dengan rekan laki-laki, tidak ada laki-laki lain di pinggir jalan yang menggoda atau melecehkan saya karena mereka mengakui keberadaan rekan laki-laki saya tersebut. Begitu juga, ketika melihat seorang laki-laki bertindak keras terhadap seorang perempuan, semua laki-laki lain di sekitarnya mengakui eksistensi laki-laki tersebut yang sedang menunjukkan domiasinya. Upaya untuk membantu perempuan tersebut merupakan bantahan atau pelanggaran terhadap dominasi laki-laki tersebut dan membutuhkan energi yang cukup besar untuk melakukannya.
Jadi bila kalian sesama laki-laki saling menghormati dan menghargai sedemikian rupa mengapa tidak mengalihkannya menjadi suatu gerakan yang positif? Bila Anda melihat rekan Anda berbicara mengenai perempuan dengan cara yang merendahkan, mengapa Anda tidak berupaya menegurnya? Bila Anda melihat teman Anda melakukan hal yang melecehan perempuan, mengapa Anda justru mendukung tindakannya dan ikut-ikutan? Bagaimana bila ini terjadi pada Anda? Jangan lupa ada 6% korban KDRT yang adalah laki-laki. Atau bagaimana bila yang sedang dibicarakan adalah saudara perempuan Anda, anak perempuan Anda, ibu Anda, istri Anda? Apakah Anda akan tetap diam bahkan mendukung tindakan ini?
Isu KDRT selama masih dianggap sebagai milik salah satu gender selama-lamanya tidak akan pernah mendapatkan solusi yang signifikan. Permasalahan KDRT harus diterima sebagai permasalah seluruh masyarakat tanpa memandang apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena perempuan bisa berbicara bahkan berteriak-teriak tetapi bila laki-laki tidak mau mendengar maka akan selalu ada jurang yang tak tersebrangi dan tidak pernah akan ditemukan solusi bersama yang saling berkesinambungan.
Terlepas dari kompleksnya permasalahan KDRT ini, saya sebagai perempuan mengharapkan Indonesia dipenuhi dengan laki-laki yang bisa menghormati perempuan. Saya yakin semua rekan-rekan perempuan yang lain setuju dengan saya. Kami mengharapkan ayah yang bertanggung jawab, suami yang berintegritas, guru laki-laki yang amanah, atasan laki-laki yang mengayomi, rekan kerja laki-laki yang santun, saudara laki-laki yang bisa melindungi, anak laki-laki yang hormat pada ibunya, menantu laki-laki yang bertanggung jawab dan semua laki-laki lain yang bisa diandalkan. Mari kita jembatani jurang gender ini dengan merasa senasib sepenanggungan menghadapi problem-problem yang ada di negara kita, termasuk problem kekerasan dan pelecehan.