Selain itu di era emansipasi sekarang ini, banyak wanita yang juga memiliki karir tidak kalah dengan para pria. Untuk memiliki seorang anak, seorang wanita harus menyediakan waktu tidak hanya 9 bulan tetapi sampai 1-2 tahun sesudahnya untuk menjaga sang anak, terkadang malah sampai bertahun-tahun akhirnya mereka tidak kembali bekerja lagi dan karir mereka akhirnya hilang begitu saja terbawa angin. Banyak wanita mulai tidak mau mengambil risiko ini.
Golongan pro punya anak tentu tidak setuju dengan hal ini, bagaimana pun muara kehidupan bukan terletak pada uang, karir atau kesuksesan materi. Di akhir hayat, manusia tentu ingin berada dekat dengan keluarga dan orang-orang terkasih. Apa jadinya masa pensiun nanti bila tidak ada anak dan cucu?
Tanggung jawab besar memiliki anak
Banyak teman saya tidak ingin punya anak dengan alasan ini. Menurut mereka, memiliki seorang anak bukanlah hal main-main, segala sesuatunya harus dipersiapkan dengan matang, tidak hanya soal finansial tetapi juga mental. Mereka tidak ingin anak mereka hanya menjadi korban pelampiasan kekecewaan mereka akan kegagalan dalam hidup mereka sendiri, misalnya: dirinya gagal menjadi dokter akhirnya suatu hari memaksa anaknya harus menjadi dokter.
Atau mereka tidak ingin mengulangi kesalahan yang orang tua mereka lakukan terhadap mereka, misalnya: orang tuanya terlalu sibuk bekerja sehingga tidak ada waktu untuk anak.
Tanggung jawab merawat anak bukan hanya soal perkembangan fisiknya tetapi juga soal mendidik karakter, membangun keimanan, melatih mental, dll, dan semua harus disupport dengan ikatan ayah dan ibu yang solid dan kondisi keuangan yang stabil.
Sudah banyak sekali beredar artikel atau video di media sosial kisah orang tua yang begitu kerepotan mengurus jangankan 2-3 anak, 1 anak bayi saja sudah luar biasa melelahkan dan membuat stres. Belum lagi berita kriminalitas tentang banyaknya orang tua yang menganiaya anaknya karena tidak siap mental. Banyak orang yang memilih untuk tidak mengambil tanggung jawab ini.Â
Sejuta alasan lainnya
Ada yang lebih memilih untuk mengadopsi anak atau mengangkat anak-anak asuh karena melihat penderitaan anak-anak tanpa orang tua. Ada yang memang tidak menyukai anak-anak, tidak sabar menghadapi anak-anak. Atau bahkan ada juga yang ternyata hanya berdalih, sebenarnya bukannya dia tidak mau tetapi dia tidak bisa, karena kondisi-kondisi medis tertentu.
Apapun alasannya seharusnya perkara mau atau tidak mau memiliki anak tidak perlu dijadikan topik perdebatan. Pilihan soal anak adalah ranah privat, bukan publik. Setiap orang harusnya berhak untuk memilih hal-hal apa yang ia inginkan dalam hidupnya dan hal apa yang tidak.
Seperti memilih jurusan kuliah, ada yang memilih sesuai keinginan orang tua nya, ada yang memilih seperti cita-citanya sejak kecil, ada yang memilih sembarangan karena tidak tahu ingin sekolah apa, ada yang SMA jurusan IPA tetapi memilih jurusan FISIP, ada yang memilih tidak lanjut kuliah, ada yang mengambil year gap, dll.Â