Dokter Larry Nassar akhirnya telah divonis 175 tahun penjara oleh Hakim Rosemary Aquillina atas tindak pelecehan seksual yang dilakukannya terhadap lebih dari 200 anak dan remaja perempuan selama 30 tahun karirnya sebagai dokter tim medis Olimpiade Gimnastik di Michigan, Amerika Serikat. Sebelumnya pada bulan Desember 2017 Nassar telah divonis 60 tahun atas kepemilikan puluhan ribu file pornografi anak dalam komputer pribadinya dan pada tanggal 24 Januari 2018 akhirnya keadilan diraih oleh para korban.
Hakim Aquilina selama peradilan bersikap sangat keras dan intoleran terhadap Nassar. Beliau tidak menghiraukan nota pembelaan yang diajukan oleh Nassar dua bulan setelah Nassar mengakui bersalah telah mencabuli hanya 7 orang saja. Berikut kutipan nota pembelaan Nassar:
"I was a good doctor, because my treatments worked. And those patients that are now speaking out were the same ones who praised and came back over and over and referred family and friends to see me. The media convinced them that everything I did was wrong and bad. They feel I broke their trust. Hell hath no fury like a woman scorned. It is just a complete nightmare. Stories are being fabricated to sensationalize this...I was so manipulated by the attorney general and now by Judge Aquilina. And all I wanted was to minimize stress to everyone."
Aquilina merespons dengan mengatakan bahwa nota pembelaan ini hanya menunjukkan bahwa Nassar belum menyadari kesalahannya, masih menganggap dirinya benar dan seorang dokter sehingga tidak perlu mendengarkan (pernyataan saksi korban). Aquilina bahkan mengatakan bahwa dia tidak akan membawa anjingnya berobat pada Nassar.
Aquilina juga menolak nota keberatan dari Nassar setelah 7 hari peradilan marathon dengan agenda mendengarkan keterangan saksi korban. Dari total 265 korban yang melapor, ada lebih dari 150 korban yang diberikan kesempatan untuk bersaksi melawan Nassar. Dan Hakim Aquilina mendengarkan semua kesaksiannya dengan sabar bahkan memberikan dukungan bagi para korban seperti seorang ibu. Nassar meminta agar diizinkan untuk keluar dari ruang pengadilan karena mendengarkan kesaksian sekian banyak korban telah menyebabkan dirinya stres dan emosional. Aquilina menjawab:
"Spending four or five days listening to them is significantly minor, considering the hours of pleasure you had at their expense and ruining their lives."
Kasus Larry Nassar merupakan contoh kasus yang baik bagi sistem hukum di Indonesia terutama dari respon aparat penegak hukum dan eksekusi kasus. Larry Nassar dijatuhi vonis hanya kurang dari 2 tahun sejak tuduhan bertubi-tubi yang diarahkan kepadanya. Kasus Larry Nassar ditanggapi secara serius oleh kepolisian dan dengan segera diarahkan ke pengadilan. Polisi tidak ribet ngeles ke sana ke mari dengan mengatakan kurang bukti. Polisi bahkan mengategorikan beberapa laporan yang masuk secara bersamaan hanya berdasarkan keterangan korban sebagai "very credible".Â
Laporan diterima meskipun tanpa bukti karena seperti kita ketahui bahwa hampir semua tindak pelecehan seksual tidak memiliki bukti otentik, bisa jadi karena kejadian sudah lewat beberapa hari atau bulan atau tahun. Bisa jadi karena tindak pelecehan tidak menyisakan bukti fisik seperti lelehan air mani atau luka fisik seperti yang dilakukan oleh Nassar yaitu hanya memasukkan jari ke lubang vagina korban yang tentu saja tidak menimbulkan jejak apa-apa atau bisa jadi ada bukti fisik tetapi korban tidak meminta visum karena malu dan takut atau karena tidak ada biaya.
Di Indonesia, berdasarkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dikatakan bahwa untuk melaporkan pelaku dibutuhkan satu saksi dan satu alat bukti lainnya. Alat bukti yang dianggap valid adalah visum dari dokter atau psikiater. Analisis dari psikolog belum bisa menjadi alat bukti dan negara kita belum familiar dengan penggunaan detektor kebohongan. Seperti saya jelaskan tadi bahwa visum seringkali tidak bisa membantu. Sekali pun ada, kepolisian masih sering berdalih bahwa satu saksi dan satu alat bukti pun belum cukup.
Selain landasan hukum yang lemah dan tidak berpihak pada korban kekerasan seksual, mentalitas kepolisian negara kita juga belum kondusif bahkan sangat primitif. Bukan hanya satu atau dua korban yang mencoba melapor malah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan bahkan pelecehan dari polisi penerima laporan. Pemikiran bahwa korban perkosaan merasa "enak" disetubuhi paksa sungguh menghina wanita dan merendahkan laki-laki secara khusus dan merendahkan manusia sebagai makhluk berbudi luhur secara umum. Bahkan pernah ada pernyataan dari salah satu pejabat tinggi di salah satu provinsi kita yang menyatakan bahwa perempuan yang tidak berjilbab layak diperkosa. Bagaimana pendapat Kompasianer tentang hal ini?
Sistem peradilan negara kita dalam menangani kasus pelecehan seksual juga belum berimbang apalagi berpihak pada perempuan. Berapa banyak kasus pelecehan seksual yang ditangani oleh hakim perempuan? Dengan jaksa penuntut umum perempuan? Dengan pengacara perempuan? Berapa banyak pelaku KDRT atau pelecehan seksual dituntut hanya beberapa bulan saja, kemudian divonis lebih rendah daripada tuntutan, kemudian tidak pernah dieksekusi, atau eksekusi tetapi kemudian segera dibebaskan karena berkelakuan baik?
Peradilan negara kita tidak akan pernah menjadi adil bagi perempuan korban pelecehan selama kasusnya diadili oleh hakim yang tidak punya empati terhadap korban pelecehan. Bukan berarti harus perempuan karena banyak juga perempuan yang lebih kejam terhadap korban pelecehan. Ini bener aneh banget buat saya.