Pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Papua, di Manokwari, saya senang sekali melihat anak-anak Papua. Penampilan mereka dengan kulit hitam manis, gigi putih bersinar bila tertawa dan rambut kriwil mereka menurut saya sangat imut sekali, apalagi ketika mereka menjawab malu-malu saat ditanya. Tetapi kemudian saya meluncur ke Teluk Bintuni. Kabupaten Bintuni adalah kabupaten pemekaran yang pada tahun 2012 lalu menurut saya masih belum "layak huni", jauh berbeda dengan Manokwari. Hanya ada 1 jalan raya di kota ini, listrik hanya 12 jam, air harus difilter karena luar biasa kotornya, sinyal ada hanya di tengah kota dalam radius 5km saja.
Lewat dari radius sinyal tersebut semuanya masih berupa hutan. Hari kedua saya di Bintuni, saya melihat seorang anak Papua berjalan kaki dengan anak panah disandang di bahunya dan busur panah di tangan kanannya. Sangat tidak imut sekali! Di Jakarta saya hanya melihat anak-anak selalu memegang gadget. Ketika mereka memegang pisau dapur saja ibunya sudah teriak ketakutan. Tetapi selanjutnya pemandangan seperti ini makin lazim saya lihat karena memang banyak warga yang hidup dengan berburu, selain berkebun.
Bila dinilai secara kasar, orang bisa menilai bahwa anak Papua rata-rata badannya kecil. Dan memang, selama saya bekerja di sana hampir tidak pernah saya menemukan anak Papua dengan berat badan yang sesuai dengan rentang berat badan normal baik berdasarkan rekomendasi nasional maupun WHO, berat badan mereka selalu lebih rendah. Tetapi jangan segera khawatir, meskipun badan mereka kecil tetapi energi mereka mengalahkan anak kota besar yang berat badannya normal.
Pekerjaan utama mereka adalah BERMAIN. Jam bermain anak-anak Papua yang belum atau tidak bersekolah melebihi jam kerja orang dewasa. Mereka bisa bermain dari pagi sampai petang, panas maupun hujan, seakan-akan tidak ada rasa lelah. Saya tahu ini dengan pasti karena mereka biasa bermain di depan rumah dinas saya, sore hari mereka biasa mengambil air dari sumur atau tandon air di belakang rumah saya untuk minum atau menyiram kepala mereka. Saya pernah menanyakan mengenai hal ini kepada salah satu orang tua mereka, hanya dijawab santai "Saya biarkan saja mereka itu Dok, nanti kalau lapar pasti pulang ke rumah."
Anak-anak yang sudah usia sekolah sebenarnya pun masih senang bermain. Tetapi karena mereka harus bersekolah atau membantu orang tuanya maka jam bermain mereka berkurang. Tetapi setiap ada kesempatan mereka masih selalu memanfaatkannya untuk bermain. Anak Papua yang putus sekolah atau sekolah putus-putus adalah hal biasa.Â
Seringkali permasalahan ini ternyata hanya masalah teknis, misalnya orang tuanya terlambat mendaftar ulang di sekolah karena pergi berburu ke hutan, tahun depan baru mereka coba daftar lagi. Seandainya pun mereka bisa bersekolah, guru tidak setiap hari datang. Ketika mereka sudah sampai di sekolah tetapi tidak ada guru, mereka langsung memanfaatkan waktunya untuk bermain.
Suasana pendidikan di Papua jauh dari ideal. Kualitas pelajaran di sekolah pun jangan disamakan dengan di pulau lain yang lebih maju. Anak kelas 6 SD di Papua bisa jadi belum lancar membaca dan tidak hafal perkalian dasar. Jadi jangan keburu lega mendengar anak Papua bisa lulus SMA, cek dulu kualitasnya seperti apa. Yang saya perhatikan, anak Papua kesulitan dalam matematika dasar terutama soal pengurangan dan pembagian. Oleh karena itu bila Anda ke Papua dan pergi berbelanja di warung dilayani oleh anak Papua, Anda harus sabar menunggu dia menghitung kembaliannya yang kemungkinan besar akhirnya salah juga.Â
Bila Anda berbelanja di pasar, Anda akan melihat barang-barang jualannya sudah dikelompokkan menjadi harga yang sama. Misalnya bila Anda hendak membeli tomat, Anda akan melihat beberapa kelompok tomat disusun tiap kelompok seharga Rp 10.000,-, Anda hanya bisa membeli yang ada dalam kelompok yang sudah diaturkan untuk Anda, Anda tidak bisa memilih hanya mau membeli tomat yang besar-besar saja, lalu menawar harganya karena mereka akan kebingungan. Bila Anda mau membeli tomat yang lebih besar di kelompok lain Anda harus membeli satu kelompok itu. Â
Bukan berarti anak-anak Papua tidak suka belajar tetapi perjuangan untuk belajar di Papua memang lebih sulit dibanding anak kota. Untuk menuju ke sekolah biasanya anak-anak Papua harus berjalan beberapa kilometer. Hal ini mungkin terdengar berat bagi anak-anak di kota besar tetapi bagi mereka ini hal yang biasa saja.
Anak-anak Papua terbiasa dengan aktivitas berat. Meskipun badan mereka kecil tetapi otot mereka keras. Bagaimana tidak, sejak kecil mereka sudah membantu orang tua mereka berburu atau berkebun. Pintu rumah dinas saya pernah diketuk oleh anak kepala desa, namanya James usianya 7 tahun, dia baru kembali dari kebun, membawa sekarung besar bayam "Ibu Dokter mau bayam kah?" Saya mengambil dua ikat saja, secukupnya untuk makan saya sendiri.
 Setelahnya saya melihat dia berjalan ke arah rumahnya sambil menyeret, menarik, mengangkat, memikul karung yang lebih besar dari badannya itu. Setengah mati dia berusaha membawa karung itu ke rumahnya, tidak ada yang membantu, tetapi dia juga tidak mengeluh karena saudara-saudaranya juga biasa melakukan hal itu. Bahkan semua orang di lingkungannya biasa melakukan pekerjaan berat.Â
Saya pernah melihat sendiri seorang ibu mencangkul tanah saat beliau sedang hamil tua sambil menggendong anak bayi di punggungnya. Saya pernah diajak ngobrol oleh seorang bapak sambil dia memikul batang pohon di pundaknya. Saya sampai merasa tidak nyaman ngobrol dengan beliau karena melihat beban di pundaknya, tetapi beliau santai saja.
Suasana kehidupan di pedalaman Papua sangat berbeda dengan di kota besar apalagi di Jawa. Saat saya bekerja di sana saya merasa seperti masuk ke mesin waktu kembali ke 30 tahun di masa lalu di mana belum ada priviledges seperti yang saya dapatkan di kota, saya bahkan harus menulis surat untuk berkomunikasi dengan sejawat saya di kota karena tidak ada sinyal di hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H