Human trafficking atau perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk perdagangan illegal yang sudah setua sejarah. Tidak ada catatan transaksi perdagangan manusia yang pertama tetapi jual beli budak sudah terjadi bahkan sebelum manusia mengenal aksara. Tetapi belum ada satu pihak pun yang menganggap bahwa perdagangan budak adalah tindakan illegal yang tidak manusiawi karena pada zaman itu perdagangan budak adalah hal yang lazim.
Ribuan tahun kemudian barulah mulai muncul perlawanan atas perdagangan budak kulit hitam. Pada tahun 1792, Denmark melarang impor budak kepada negara-negara koloninya, disusul dengan Inggris pada tahun 1807 meloloskan Abolition of the Slave Trade Act lalu Amerika Serikat pada tahun 1808. Tetapi belum ada organisasi internasional yang sepakat mengatur pelarangan perdagangan manusia.
1000 tahun kemudian, pada tahun 1902 ketika isu perdagangan budak kulit putih mulai meresahkan baru diadakan konferensi internasional untuk membahasnya dan pada tahun 1903 ditandatanganilah Internasional Agreement for The Suppression of White Slave Traffic. Ini adalah kesepakatan internasional yang pertama mengenai perdagangan manusia.
Setelah perang dunia pertama, Liga Nasional mengeluarkan kesepakatan internasional yang lebih general yaitu Internasional Convention for The Supression of Traffic in Women and Children, tetapi kesepakatan ini hanya mencakup perdagangan manusia berkaitan dengan eksploitasi seks dan prostitusi.
Selama bertahun-tahun isu perdagangan manusia memang tidak pernah menjadi topik prioritas bagi negara manapun apalagi di dunia internasional. Tidak banyak konferensi internasional yang mengangkat isu ini.Â
Perdagangan manusia telah berkembang baik secara bentuk, kuantitas, omset, jaringan dan modus. Pada tahun 2000 PBB akhirnya menelurkan aturan United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children. Kesepakatan ini dianggap sudah cukup kekinian dan diharapkan mampu mengatasi perdagangan manusia di era modern.
Dalam kesepakatan tersebut, perdagangan anak didefinisikan sebagai salah satu bentuk perdagangan manusia di mana anak di bawah usia 18 tahun direkrut, ditransport, ditransfer, dikirim dan diterima untuk tujuan eksploitasi. Persoalan perdagangan anak dianggap lebih rumit dibanding orang dewasa karena ada bentuk perdagangan anak berupa adopsi.
Bentuk-bentuk perdagangan anak menurut protocol dari PBB adalah:
Menjadi buruh paksa
Sejak bangkitnya era industry anak-anak sudah dianggap sebagai sumber daya manusia yang menguntungkan karena tubuh mereka yang kecil, gerakan tangan dan kaki mereka lincah, ketahanan mereka tidak kalah dengan orang dewasa dan bayaran mereka bisa jauh lebih rendah.
Menjadi tentara anak-anak
Beberapa tahun terakhir ini dunia diresahkan dengan isu pelanggaran HAM di Myanmar terhadap Rohingya. Semua orang lebih tertarik untuk menandatangani petisi mencabut penghargaan nobel perdamaian dari Aung San Suu Kyi.
Tidak ada yang membahas tentang banyaknya anak-anak yang dipaksa menjadi tentara dalam upaya genosida terhadap suku Rohingya. Myanmar hanya salah satu contoh. Di hampir semua negara Afrika, anak-anak sudah menjadi  tentara yang berdarah dingin.
Menjadi kurir obat terlarang
Menggunakan anak-anak untuk menjadi kurir narkoba juga dianggap efisien, karena mereka lincah, tidak mencurigakan, tidak juga banyak permintaan ini itu dan bayarannya sangat sederhana.
Menjadi pengemis
Saya rasa tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, di ibu kota kita sendiri bisa kita lihat di sekitar lampu merah, anak-anak bahkan bayi dilibatkan dalam mafia pengemis. Disewakan, dipaksa, dicekoki obat untuk melanggengkan bisnis mengemis.
Perdagangan organ
Organ tubuh anak-anak relative memiliki kualitas yang lebih baik dibanding orang dewasa sehingga harganya bisa lebih tinggi.
Adopsi
Adopsi sering dijadikan selubung untuk perdagangan anak-anak. Tidak tahu bagaimana di Indonesia tetapi di luar negeri banyak terjadi anak-anak yang diculik lalu dijual dengan selubung adopsi. Calon orang tua ditipu dan diperas dengan alasan biaya administrasi adopsi.
Dan terakhir tentu saja menjadi asset eksploitasi seksual.
Yang termasuk dalam eksploitasi seksual anak adalah:
- Prostitusi anak baik di jalanan maupun area indoor
- Child sex tourism
- Produksi, promosi dan distribusi pornografi anak
- Penggunaan anak dalam pertunjukan seks baik dalam ranah privat maupun publik
Data tahun 2017 dari KPAI memperkirakan 100.000 anak dan perempuan menjadi korban perdagangan manusia setiap tahunnya, 30% di antaranya menjadi pekerja seks di bawah umur. Sementara menurut data Kemensos tahun 2016 ada kurang lebih 56.000 pekerja seks di bawah umur, banyak di antaranya diperdagangkan sampai ke Malaysia, Hongkong dan Singapura.
Silakan mengabaikan data ini karena buat saya, data ini sampah. Total bulls**t! Di Amerika Serikat saja, yang negara maju, yang jumlah penduduknya tidak beda jauh dari Indonesia, yang sistem hukumnya lebih berintegritas, tingkat pendidikan warganya tinggi dan status ekonomi warganya lebih baik, datanya sebagai berikut:
600.000-800.000 perempuan dan anak yang menjadi korban perdagangan manusia internasional setiap tahunnya
Bila ditambah dengan perdagangan dalam negeri, angkanya menjadi 2-4juta
50% dari angka itu adalah anak- anak
Jadi saya mohon KPAI dan Kemensos lebih serius dan merevisi datanya. UNICEF masih menggolongkan Indonesia tidak hanya sebagai supplier terbesar tetapi juga sebagai pasar, tujuan dan tempat transit bagi komoditi perdagangan manusia. Bahkan Wikipedia punya halaman khusus tentang Human Trafficking in Indonesia.
Penyebab utama Indonesia masih menjadi bintang di dunia perdagangan manusia adalah kemiskinan. Kemiskinan adalah faktor utama seseorang menjadi korban perdagangan manusia. Khusus untuk anak-anak, faktor utama kedua adalah perpecahan keluarga.
Dengan semakin cepatnya arus informasi di dunia, perdagangan anak pasti menjadi lebih besar dengan ruang lingkup yang lebih luas dan lalu lintas yang lebih padat. Kita lihat sendiri, video porno yang dibuat di Bandung yang melibatkan 3 orang anak-anak, ternyata untuk memenuhi permintaan jaringan paedofilia di Rusia.Â
Sebelum era teknologi saya yakin hal ini mustahil untuk dilakukan. Tetapi sama seperti teknologi mengubah pola perdagangan barang, demikian juga pola perdagangan manusia.Â
Indonesia sebagai bintang besar dalam dunia perdagangan manusia harus segera serius mengatasi permasalahan ini. Indonesia harus mulai vokal di dunia internasional untuk bersama-sama berpegangan tangan melawan perdagangan manusia terutama anak-anak.Â
Indonesia butuh dukungan internasional karena lingkup perdagangannya lintas negara. Mungkin negara lain juga banyak yang tidak peduli tetapi  minimal pemerintah harus mau melihat kenyataan hancurnya generasi kita karena perdagangan anak-anak ini, dan mulai menyuarakan dengan lantang ke dunia internasional. Jangan tutup mata lagi!
Referensi:
- wikipedia.org
- www.asiasentinel.com
- arkofhopeforchildren.org
- hankeringforhistory.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H