Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dia Bukan Temanku, Dia Ibuku

22 Desember 2017   10:27 Diperbarui: 22 Desember 2017   15:55 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Are you two friends?" -- Apakah kalian berdua berteman? Itu adalah pertanyaan dari seorang tour guide saat saya dan ibu saya berlibur ke Austria. Tidak ingat lagi sudah berapa kali ibu saya dikira teman sebaya saya, terutama bila kami berinteraksi dengan orang yang belum mengenal kami berdua. Ibu saya sudah berusia 56 tahun tetapi karena selalu menjaga pola hidup sehat, rutin berolahraga dan makan makanan sehat, wajahnyA terlihat sangat segar, seperti baru berusia 40-an. Sementara saya sudah 30 tahun dan mungkin tampak lebih tua dari usia saya sebenarnya karena pola hidup yang tidak sehat, jadwal tidur tidak tentu, makan sembarangan dan tidak pernah berolahraga.

Banyak sekali orang yang menggambarkan hubungan mereka dengan ibunya seperti teman, sahabat terbaik. Bagi saya, saya tidak pernah bisa menganggap ibu saya sebagai teman saya.

Ketika saya berkumpul bersama dengan teman-teman saya, saya bisa seenaknya bicara, sesekali mengeluarkan kata-kata kasar, kadang-kadang bicara tidak senonoh. Bila sedang bercanda, saya bisa menjitak kepala teman saya atau menepuk bokongnya. Saya tidak akan pernah bisa berlaku seperti itu kepada ibu saya tentu saja. Bersama ibu saya, saya menjadi wanita yang sopan, tahu tata krama, berbudi pekerti, dan berintelektual tinggi.

Bila saya hendak kongkow dengan teman-teman saya, mereka biasa menjemput saya dengan mobil mereka. Bila hendak pergi dengan ibu saya, seringkali dia lebih memilih untuk naik angkutan umum, karena menurutnya lebih simple dan murah, tidak perlu repot cari parkir, bayar parkir, belum lagi menghadapi kemacetan yang membuat frustasi. Bersama ibu saya, saya menjadi perempuan yang tahu diri, tidak selalu menuntut kemewahan, rendah hati, bisa hidup sederhana meskipun kami mampu hidup mewah.

Bila saya menginap di tempat tinggal teman saya, saya bisa seenaknya ngobrol atau gila-gilaan sampai subuh lalu bangun jam berapapun. Di rumah bersama ibu saya, saya tidak mungkin melakukan itu, jam 10 malam biasanya ibu saya sudah tidur, jam 5 pagi beliau sudah bangun. Saya harus bangun pagi juga untuk membantu dia melakukan ini itu. Bersama ibu saya, saya berlatih menjadi orang yang disiplin, rajin, penuh tanggung jawab dan efisien. Hidup saya sangat sehat ketika bersama ibu saya, makanan sehat, hiburan sehat. Ibu saya bahkan tidak mau berdekatan dengan orang yang sedang merokok karena tidak mau menjadi perokok pasif, beliau pasti akan langsung menegur orang tersebut, sementara saya santai-santai saja duduk di samping teman-teman saya yang merokok dan minum minuman keras.

Teman-teman saya jarang menegur saya ketika saya berbuat salah, paling mereka hanya mengingatkan, saya pun tidak merasa punya beban bila tidak menuruti nasehat atau teguran mereka. Bagi mereka hidup saya ya saya yang menjalani, sebagai teman mereka wajib mengingatkan tetapi selanjutnya terserah saya. Tentunya tidak demikian dengan ibu saya, dia akan menegur saya dengan keras bila saya salah dan mati-matian mempertahankan didikannya karena baginya hidup saya adalah hidupnya juga, keselamatan akherat saya adalah tanggung jawab dia juga.

Ketika saya sedih, saya akan mencari teman baik saya untuk bercerita, saya tidak akan mencari ibu saya dan saya tidak akan menceritakan apa-apa padanya karena saya tahu semua hal yang membuat saya sedih akan membuat ibu saya sedih juga. Ketika saya sakit saat bekerja di perantauan, seberapapun saya merindukan dan membutuhkan ibu saya, saya akan sebisa mungkin menutupinya dari beliau karena saya tidak ingin beliau khawatir dan kebingungan nun jauh di sana, berharap dirinya yang sakit dan bukan saya.

Saya ingin ibu saya bangga melihat saya, ikut bahagia ketika saya tersenyum dan ikut merasakan semua kesuksesan yang saya raih. Saya tidak ingin beliau tahu apa saja kesulitan yang harus saya lewati, seberapa banyak air mata dan darah yang saya curahkan demi mencapai keberhasilan, demi melihat sinar kebahagiaan dan kebanggaan di matanya ketika melihat saya. Saya tidak ingin hatinya hancur melihat saya hancur-hancuran meraih apa yang sudah saya raih sekarang atau apa yang ingin saya raih nanti. Saya hanya ingin dia mendoakan saya, bersabar, memberi saya dukungan, lalu pada saatnya nanti menuai apa yang sudah dia tanamkan dalam diri saya. Saya ingin memberikan semua yang terbaik dari diri saya untuk beliau, semua yang positif, bukan yang negatif, yang mengecewakan, yang menyedihkan. Saya bisa membagikan semua hal negatif tersebut kepada teman-teman saya.

Saya punya begitu banyak teman, tetapi saya hanya punya satu ibu. Selama-lamanya beliau adalah ibu saya, tidak ada teman yang bisa menggantikan posisinya dan posisinya tidak bisa berubah menjadi teman. She's not my friend, she's my mother.

Selamat Hari Ibu!

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun