Setelah kita semua memahami betapa kompleksnya persoalan bullying, bahwa bullying bukan sekedar perkelahian anak sekolah biasa, bahwa ada faktor penyebab yang tidak kalah kompleksnya, bahwa ada masa depan sebuah generasi yang dipertaruhkan bila kita tetap mengabaikan permasalahan ini, maka sampailah kita pada pertanyaan akhir: Apa yang harus kita perbuat?
Sulit untuk mendaftar satu per satu solusi yang semuanya terasa hanya menjangkau permukaan dan bersifat jangka pendek, misalnya: pemasangan CCTV di sekolah untuk memantau setiap sudut sekolah yang bisa menjadi lokasi aksi bullying, peningkatan komunikasi antara guru dan orang tua murid, menghukum murid yang melakukan bullying, respon cepat menghentikan penyebaran video yang menunjukkan aksi bullying, dll.
 Semuanya hanya berupaya untuk mengatasi bullying, bukan mencegah. Padahal seperti yang saya katakan sebelumnya, bullying tidak boleh terjadi! Kita tidak boleh berkompromi dengan hal itu. Kita tidak boleh hanya berjaga-jaga berharap hal itu tidak terjadi dan bila ternyata terjadi baru kita atasi. Kenyataan bullying sudah terjadi di sekitar kita, di sekolah anak-anak kita, melibatkan murid-murid kita, ditonton oleh keponakan-keponakan kita.
Solusi mendasar untuk permasalahan bullying menurut saya pribadi adalah revolusi sistem pendidikan. Pendidikan di Indonesia harus memasukkan nilai akhlak sebagai basis sistem, bukan hanya menomorsatukan unsur akademis. Sistem pendidikan harus memiliki visi yang kuat dan konsisten, bangsa seperti apa yang ingin kita lihat 20 atau 50 tahun dari sekarang, apakah hanya sekedar bangsa yang jago matematika tetapi berjiwa koruptor, ataukah bangsa yang bebas dari buta huruf tetapi tidak bisa menjaga lisannya di media sosial, ataukah bangsa yang berbudaya tinggi dengan akhlak yang mulia?
Saya tahu bahwa ini sama sekali bukan persoalan yang sederhana, bahkan negara adidaya Amerika Serikat pun masih berjibaku dengan permasalahan bullying ini. Tetapi mudah-mudahan kita mau berusaha, mulai dari hal kecil, antara lain:
- Tingkatkan kemampuan anak bersosialisasi
Professor Jaana Juvonen dari Department of Psychology UCLA yang sangat peduli dengan persoalan bullying, telah melakukan penelitian yang membuktikan bahwa memiliki teman mengurangi resiko menjadi korban bullying, bahkan bila hanya satu orang teman saja. Selain itu, dengan memiliki teman, seandainya bullying terjadi, efek negative dari bullying tersebut tidak seberat pada anak yang tidak memiliki teman. Sayangnya, anak-anak kita mungkin tidak pernah tahu bagaimana caranya menjadi teman yang baik, bagaimana caranya berteman secara sehat. Apalagi dengan gadget yang tidak pernah lepas dari tangan, anak-anak kita bisa jadi semakin berkurang kemampuan bersosialisasinya.
- Fokus juga pada penonton bullying
Seandainya guru dan orang tua kewalahan mengatasi pelaku dan korban bullying, hal yang paling mungkin dilakukan dan ternyata sangat efektif adalah dengan berfokus pada anak-anak lainnya yang tidak terlibat tetapi biasa menjadi saksi mata. Sudah ada beberapa program di luar negeri yang dikembangkan untuk melatih meningkatkan empati dan mengajarkan langkah-langkah agar anak bisa membantu temannya yang menjadi korban bullying. Salah satu contohnya adalah program KiVa yang sudah dikembangkan di Finlandia (dapat dibaca lebih lengkap di www.kivaprogram.net).
 Selama ini guru dan orang tua pasti tidak pernah mempedulikan penonton bullying, menganggap mereka bukan anak bermasalah sehingga tidak perlu perhatian khusus, bahkan seringkali menasehati mereka "Kamu jangan ikut-ikutan ya!" Ternyata penonton sebenarnya memegang peranan penting dalam bullying karena pelaku bully sangat menyukai dan membutuhkan audiens. Semakin banyak penonton apalagi penonton yang bersorak, tindakan mereka akan semakin menjadi. Jadi kita tidak bisa menganggap remeh peran penonton dalam bullying, penonton tidak bisa hanya disuruh menjadi pasif dan tidak ikut-ikutan, tetapi harus didorong untuk berperan aktif menghentikan bullying ini, mereka harus merasa ikut bertanggung jawab.
- Diskusi internal
Sambil menunggu, program pendidikan yang lebih baik dari pemerintah, peningkatan kesejahteraan guru agar guru lebih bersemangat mendidik murid-muridnya, ada baiknya kita mulai dari lingkungan sekolah masing-masing. Kolaborasi antara guru, orang tua murid dan perwakilan dari murid, duduk bersama, bukan untuk saling menyalahkan dan melempar tanggung jawab tetapi sama-sama mengangkat kesadaran mengenai bullying, melihat apa yang terjadi di sekolah, bagaimana hubungan antar murid, bagaimana komposisi demografis di setiap angkatan.Â
Setiap sekolah mempunyai keunikan karakternya masing-masing, gambaran demografis sekolah swasta bisa jadi berbeda dengan sekolah negeri, pola pengajaran berbeda, dll. Semua keunikan ini akan memunculkan solusi-solusi yang berbeda di tiap sekolah. Yang terpenting, kenali setiap faktor resiko bullying, jangan cuek, jangan menganggap semua baik-baik saja, gali sedalam-dalamnya sampai kita semua yakin bullying bisa dihindari.Â
Cegah perilaku negatif dan agresif murid sebelum berkembang menjadi bullying, sekali lagi saya ingatkan, sekali dua kali perilaku agresif tidak mendapat konsekuensi negatif bahkan malah mendapat apresiasi, perilaku itu akan segera berubah menjadi bullying. Saya paham guru-guru juga punya segudang tugas yang harus diselesaikan, kadang terlalu memusingkan dan menyita waktu mereka, oleh karena itu segera atasi sebelum masalahnya menjadi membesar dan membuat Anda beralasan tidak ada waktu untuk mengatasinya. Kiranya bisa diluangkan sedikit perhatian bagi murid-murid di luar aspek akademis, agar secara mental dan batin, murid-murid pun merasa terfasilitasi.