Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Trauma Pasca KDRT: Berinteraksi dengan Trigger

22 Mei 2017   16:55 Diperbarui: 23 Mei 2017   09:38 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini merupakan kelanjutan dari artikel saya sebelumnya Trauma Pasca KDRT: Mengenal Trigger. Saya menutup artikel tersebut dengan ajakan untuk lebih memahami perilaku korban KDRT antara lain dengan tidak menghakimi dan tetap berteman dengan mereka. Dalam artikel ini, saya akan menjelaskan lebih lanjut bagaimana kita sebagai pihak luar yang tidak mengalami apa yang dialami oleh korban KDRT bisa membantu korban lebih banyak, terutama menghadapi dan mengatasi trigger mereka.

Trigger merupakan segala hal yang dapat dirasakan oleh panca indera korban yang secara tiba-tiba mengingatkan korban, atau lebih jauh lagi seakan-akan membawa korban kembali pada situasi mengerikan yang pernah mereka alami. Trigger adalah hal yang sehari-hari muncul seperti suara, aroma, gerakan tertentu, benda tertentu, situasi tertentu dll. Ini adalah hal-hal yang terjadi secara wajar dalam kehidupan nyata tetapi kemudian menjadi momok bagi korban KDRT.

Seiring dengan berjalannya waktu, pelan-pelan korban KDRT akan bisa menyesuaikan diri dengan kehidupannya yang baru. Tetapi akan ada saat-saat tertentu di mana mereka seakan-akan ditarik kembali ke masa sulit mereka ketika trigger-trigger tersebut muncul. Stepback seperti ini akan selalu dialami oleh korban bila tidak benar-benar diatasi sampai tuntas. Lamanya korban bisa mengatasi stepback ini tergantung dari masing-masing pribadi dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Saat mengalami stepback, korban menjadi pribadi yang sangat rentan, segala pikiran dan perasaan yang timbul pada saat kejadian kekerasan di masa lalu muncul kembali secara tiba-tiba tanpa dipersiapkan dan seringkali membuat korban merasa tidak berdaya. Korban bisa saja tiba-tiba bereaksi secara ekstrem seakan-akan kejadian itu benar-benar terulang kembali. Sebagai contoh: korban bisa berteriak-teriak histeris seperti akan diperkosa hanya karena lengannya disentuh dari belakang. Perlu saya tekankan tindakan seperti ini bukan upaya korban untuk mencari perhatian orang lain, seperti yang selama ini sering dituduhkan oleh masyarakat yang tidak mengerti! Apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh korban saat trigger itu muncul betul-betul adalah nyata, korban betul-betul merasa akan diserang atau dilukai apabila lengannya disentuh dari belakang oleh orang lain.

Trigger bisa saja tidak muncul dalam waktu lama atau korban mulai beradaptasi mampu menghindari trigger tersebut. Hal ini menjadikan korban dan orang sekitarnya merasa bahwa mereka sudah pulih sepenuhnya. Tetapi tentunya tidak ada orang yang bisa menghindar selamanya, akan ada saatnya korban dihadapkan kembali pada trigger itu dan korban harus kembali lagi ke pusara masa lalunya. Hal seperti ini bila terulang terus akan menimbulkan rasa frustasi dan tidak berdaya dari korban, membuat korban merasa selalu dihantui dan tidak bisa benar-benar pulih dari masa lalunya.

Oleh karena itu, langkah lanjutan yang dapat kita lakukan untuk menolong korban adalah dengan menjadi sahabat dekatnya. Berinteraksilah dengan lebih intim dengan korban, kenali apa saja yang menjadi trigger mereka. Berkomunikasilah dengan kasih sayang, pelan-pelan damaikan mereka dengan trigger mereka tersebut. Untuk bisa benar-benar pulih mereka harus bisa menghadapi trigger mereka, tidak mungkin selama-lamanya mereka menghindari trigger tersebut. Langkah nyatanya kira-kira sebagai berikut:

  • Temukan waktu yang tepat
    • Carilah situasi saat korban sedang dalam kondisi mood yang baik, stabil, penuh dengan pikiran positif dan optimisme.
  • Ajak mereka berbicara dengan nuansa santai dan tidak mengancam
    • Ngobrollah topik-topik terkini yang kira-kira berkorelasi dengan situasi mereka untuk membuka pembicaraan. Bicaralah dengan nada santai agar mereka tidak merasa dihakimi atau dikorek-korek masa lalunya. Lalu lihat respon mereka
  • Bila respon mereka bagus, tanyakan mengenai trigger mereka. Beberapa korban bisa jadi tidak menyadari trigger mereka sendiri.
  • Perlahan-lahan paparkan mereka dengan trigger tersebut
    • Lakukan sebagai sahabat yang penuh kasih, bukan seperti instruktur atau terapis yang dikejar target. Jangan terburu-buru. Dan yang paling penting, yakinkan mereka bahwa trigger tersebut tidak mengancam mereka, semua hal akan baik-baik saja meskipun trigger itu ada.

Dibutuhkan kesabaran dan kasih sayang untuk bisa melatih korban berinteraksi dengan normal kembali menghadapi trigger mereka. Jangan mudah frustasi atau putus asa menghadapi korban, seringkali korban seakan-akan tidak kooperatif, tidak mengalami kemajuan, masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Percayalah, setiap langkah kecil, meskipun hanya 1cm tetap merupakan langkah maju. Meskipun sepertinya hanya jempol mereka yang maju tetapi yang penting mereka tetap maju. Tidak ada hal yang lebih melegakan bagi seorang korban KDRT daripada kesadaran bahwa mereka bisa mendapatkan hidup mereka kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun