Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hati-hati Gunakan Kata-kata Berikut dalam Candaan

23 Mei 2017   12:33 Diperbarui: 23 Mei 2017   20:16 5689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya cukup yakin apa yang hendak saya sampaikan dalam artikel ini sudah pernah atau sudah sering digaung-gaungkan oleh beberapa orang lain. Sayangnya saya pribadi masih merasa banyak masyarakat belum membaca atau belum mau merubah mindset dan perilaku mereka mengenai apa yang hendak saya sampaikan ini.

Di era teknologi seperti sekarang ini, semua lapisan masyarakat bisa mendapatkan akses informasi dengan begitu mudahnya, dan sebaliknya kita juga bisa menyampaikan pendapat kita dengan lebih terbuka dan didengar oleh lebih banyak orang. Tetapi yang perlu kita sesali bersama adalah kecepatan kemajuan teknologi ini tidak diimbangi dengan kemajuan perilaku dari masyarakat, bahkan rasanya semakin nyata bagaimana perilaku manusia pada umunya. Yang cerdas makin nyata kecerdasannya, yang rasis makin nyata sikap rasisnya, yang kritis makin nyata sikap kritisnya. Intinya, dengan semakin mudahnya manusia menyampaikan opininya semakin nyata apa yang ada di dalam pikirannya. Seperti kata pepatah teko isi kopi akan mengeluarkan kopi, teko isi teh akan mengeluarkan teh.

Keprihatinan saya semakin mengerucut kala melihat, membaca atau mendengar hal-hal yang disampaikan oleh netizen dan disebarkan di media sosial, terutama yang terkait dengan kondisi fisik atau kejiwaan seseorang. Tentunya candaan seperti “Duh autis banget sih lo!” atau “Oh My God, that is so gay!” atau “Dasar OCD!” sudah sering kita dengar atau bahkan sering kita ucapkan juga. Yang ingin saya tanyakan adalah apakah kita menyadari bahwa autism, homoseksual dan OCD (Obsessive Compulsive Disorder) benar-benar adalah situasi nyata, kondisi yang real dialami oleh sebagian masyarakat kita? Apakah kita sudah pernah mempelajari lebih lanjut seperti apa sebenarnya kondisi-kondisi tersebut? Atau kita hanya pernah mendengar sekilas, lalu merasa sudah paham dan hanya ikut-ikutan bicara seperti itu karena itu adalah candaan yang biasa diucapkan? Kita anggap itu adalah hal yang lucu karena kita merasa tidak pernah ada orang yang tersinggung karena candaan seperti itu. Toh itu hanya bercanda.

Saya tidak ingin menjadi munafik, saya juga termasuk orang yang pernah menggunakan kondisi-kondisi tersebut sebagai bahan lelucon di kalangan teman-teman saya. Salah satu teman baik saya bahkan mencantumkan kata “autis” dalam alamat blognya hanya untuk kelucuan belaka meskipun dia sama sekali tidak menderita autis. Dan topic lelucon yang berkaitan dengan homoseksual merupakan salah satu lelucon yang kami sukai. Tetapi suatu hari saya sampai pada kesadaran di mana hal ini tidak lagi lucu dan sama sekali bukan hal yang layak untuk menjadi lelucon.

Salah seorang teman baik saya memiliki adik yang menderita autisme. Suatu hari saya mampir ke rumahnya, saat itu sudah agak malam kira-kira pukul 9 malam, saat itu adalah pertama kalinya saya berkunjung ke rumahnya. Saya sudah mengetahui sebelumnya bahwa dia memiliki adik dengan autisme tetapi saya belum pernah bertemu dengan adiknya tersebut. Saat saya masuk ke rumahnya teman saya segera meminta saya masuk ke ruang belajarnya agar adiknya tidak melihat kedatangan saya. Tetapi terlambat, saat itu adiknya baru saja keluar dari dapur dan melihat saya. Seperti yang seharusnya sudah saya duga, adiknya langsung berteriak-teriak histeris lari kea rah saya hendak menyergap saya. Aksi mendadak itu langsung dihentikan oleh ibunya. Ibu sahabat saya tersebut langsung memeluk anaknya dari belakang dan menariknya ke depan pintu kamarnya. Adik tersebut terus meronta-ronta sampai kira-kira setengah jam. Saya perlu memberi sedikit gambaran di sini, ibu teman saya tersebut adalah seorang wanita dengan tubuh mungil sementara sang adik adalah anak laki-laki yang meskipun baru berusia 10 tahun tetapi memiliki postur tinggi besar seperti anak SMA, silakan dibayangkan bagaimana tidak seimbangnya! Sekilas saya masih melihat bagaimana ibunya berusaha menenangkan anaknya dengan segenap kekuatannya, sisanya saya sudah tidak melihat lagi karena sudah masuk ke ruang belajar tetapi saya masih mendengar suara ibu dan sang adik masih saling beradu otot. Saya dapat merasakan rasa frustasi yang dialami oleh ibu sahabat saya tersebut, sudah hampir pukul 10 malam, beliau masih harus beradu tenaga dengan anak bungsunya yang begitu kuatnya, hanya karena ada seorang tamu yang belum dikenalnya masuk ke dalam rumah, selanjutnya harus membujuk dia tidur. Saya hanya berada di rumah itu tidak lebih dari 1 jam, tetapi saya sudah merasa kelelahan melihat upaya sang ibu. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menjalani hari-harinya.

Sejak saat itu, saya seperti mendapat hantaman di kepala belakang dengan menggunakan palu. Kondisi autisme BUKAN bahan bercandaan! Sejak saat itu saya tidak pernah lagi menggunakan kata “autis” tanpa rasa hormat. Setelahnya saya menjalani pendidikan dokter dan semakin saya menyadari bahwa banyak kondisi nyata orang-orang yang tidak pernah benar-benar kita pahami lalu kita gunakan sebagai bahan lelucon. Saya kemudian meluaskan pemahaman saya ini tidak hanya tentang autisme saja tetapi juga tentang kondisi-kondisi lainnya seperti OCD, homoseksual, dll.

Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana orang-orang dengan kondisi tersebut berusaha menjalani hidupnya hari ke hari, berbagai macam situasi, tetapi bisa saya pastikan tidak semudah kehidupan kita yang tidak hidup dengan kondisi tersebut. Saya menyampaikan salut dan hormat setinggi-tingginya kepada setiap orang dengan kondisi tertentu baik itu autisme, homoseksual, transgender, OCD, depresi, gangguan kecemasan, kecanduan, bulimia, anoreksia, phobia, dll, juga kepada keluarga dan orang-orang terdekat mereka, orang-orang yang berupaya untuk selalu menemani mereka tanpa menghakimi mereka, mendukung mereka untuk menjadi lebih baik. Langkah nyata saya adalah dengan selalu berupaya mengucapkan kata-kata tersebut dengan rasa hormat, karena saya tahu di balik satu kata tersebut ada begitu banyak kesulitan, begitu banyak upaya, begitu banyak hal yang tidak saya pahami karena saya tidak pernah ada di dalamnya. Saya harap semakin banyak masyarakat memahami keprihatinan ini, seandainya tidak mau mempelajari lebih lanjut mengenai kondisi-kondisi tersebut, minimal berhentilah bercanda mengenai hal tersebut atau menggunakan kata-kata tersebut. Sadarilah ada orang yang hatinya tersakiti karena lelucon Anda!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun