Mohon tunggu...
Sandra Suryadana
Sandra Suryadana Mohon Tunggu... Dokter - 30 tahun lebih menjadi perempuan Indonesia

Memimpikan Indonesia yang aman bagi perempuan dan anak-anak. More of me: https://sandrasuryadana.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Trauma Pasca KDRT: Mengenal Trigger

22 Mei 2017   15:37 Diperbarui: 23 Mei 2017   09:39 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak bisa dianggap sebagai hal yang sepele. Banyak tingkatan dari kekerasan yang dilakukan oleh orang yang dikenal baik oleh korban, mulai dari intimidasi verbal sampai tindak kekerasan fisik bahkan seksual, lebih parah lagi semua jenis kekerasan tersebut seringkali terjadi bersamaan. Hal mengerikan seperti ini yang terjadi dalam waktu lama tentu saja menimbulkan trauma tersendiri bagi korban.

Tidak banyak korban yang berhasil keluar dari situasi abusive dalam rumah tangga. Saya pribadi sangat sedih mengetahui kenyataan bahwa ada begitu banyak korban yang belum bisa keluar dari situasi mengerikan ini. Beberapa bahkan, belum mempunyai keberanian, keinginan atau kesempatan untuk menyelamatkan diri. Bagi para survivor yang berhasil terbebas dari situasi ini, saya acungkan kedua jempol saya tinggi-tinggi dan saya buka lengan saya lebar-lebar untuk memeluk kalian atas keberanian dan ketangguhan kalian.

Tetapi perjuangan untuk melanjutkan hidup masih bergulir. Para survivor tidak bisa hanya berdiri di tempat setelah melepaskan diri, tetapi masih harus merangkak bangkit untuk mengembalikan hidup mereka kembali. Saya paham dengan pasti bagaimana sulitnya bangkit dari situasi pasca KDRT, berusaha beradaptasi dengan kehidupan normal kembali setelah sebelumnya merasa sangat terasing, berusaha bersosialisasi kembali, mengatasi rasa lemah dan tidak percaya diri, memulai pekerjaan dengan spirit baru untuk menopang kehidupan. Terutama yang paling mendasar dan mungkin paling sulit dilakukan adalah berusaha mengatasi ketakutan dan trauma.

Pernahkah kalian melihat seorang survivor KDRT tiba-tiba terdiam di tengah percakapan yang menarik? Atau tiba-tiba berhenti saat sedang berjalan-jalan di mall? Atau menghindari hal-hal tertentu yang bagi kita tampak sangat sepele? Mungkin kita sering salah mengartikan perilaku mereka sebagai keunikan karakter mereka atau malah terkadang meledek mereka karena menganggap mereka aneh. Tetapi bagi survivor KDRT, ada alasan yang valid kenapa mereka bertindak seperti itu.

Tingkat trauma yang dialami oleh korban KDRT bisa sangat bervariasi, mulai dari trauma ringan sampai trauma berat. Apapun tingkatannya, trauma selalu mengubah perilaku seseorang. Bisa jadi dalam perilaku sehari-hari atau tindakan rutin, bisa jadi baru muncul ketika dipicu oleh sesuatu hal yang mengingatkan mereka pada suatu kejadian traumatis yang pernah mereka alami, atau lebih sering disebut sebagai trigger. Trigger merupakan hal-hal yang dapat dirasakan oleh panca indra korban yang secara tiba-tiba seakan-akan membawa mereka kembali ke situasi yang tidak menyenangkan tersebut. Trigger ini bisa memicu berbagai hal, mulai dari hal ringan seperti menghentikan pembicaraan atau menghentikan langkah sampai memunculkan reaksi ekstrem dalam tubuh seperti sakit kepala hebat, muntah bahkan pingsan.

Seorang korban KDRT dengan trauma bisa saja sangat tidak suka dengan aroma apel karena aroma ini mengingatkan dia saat suaminya menjejalkan apel ke mulut dan wajahnya. Atau mereka tidak sanggup mendengar suatu lagu yang mungkin bagi kita adalah lagu yang enak didengar, karena lagu itu diputar saat pasangannya sedang mabuk dan memukuli mereka dan anak-anak mereka. Mereka bisa jadi tidak mau minum minuman tertentu karena minuman tersebut adalah minuman yang biasa diminum oleh pelaku. Hal-hal kecil yang menurut orang normal tidak mengancam bisa dirasakan sebagai ancaman sangat besar bagi korban.

Trigger-trigger seperti inilah yang menjadikan korban sulit memulai kehidupan baru, sulit bersosialisasi kembali, sulit berfungsi normal lagi. Bayangkan, bagaimana mereka bisa bekerja dengan normal kalau mereka selalu ketakutan setiap kali melihat pulpen karena pulpen pernah dijadikan alat untuk melukai mereka? Bagaimana mereka bisa bersosialisasi dengan normal kalau mereka sering merasa sesak tiba-tiba karena panic attack setelah mendengar orang menyebut kata "kompor" berkali-kali? Orang-orang mudah menilai bahwa mereka adalah orang aneh yang tidak suka bergaul, padahal dalam hati dan pikirannya mereka tengah berusaha sedemikian keras untuk bernafas di permukaan air.

Bersyukurlah bila kita tidak pernah menghadapi kengerian seperti yang dialami para korban. Satu hal kecil yang bisa kita lakukan bagi mereka untuk mendukung perjuangan mereka menata hidup kembali adalah dengan tidak menghakimi mereka. Tetaplah berada di samping mereka ketika mereka ketakutan, ketika panic attack itu muncul, ketika mereka merasa ingin lari tetapi tidak bisa karena menghantui mereka ada dalam otak mereka sendiri. Jangan menjauh, jangan pergi. Bukan tidak mungkin, rasa frustasi karena kesulitan mengatasi hal-hal seperti ini mengantar mereka pada kecanduan alcohol, narkoba, upaya melukai diri, usaha bunuh diri, dll. Sangat berat untuk menjalani hidup dengan membawa beban trauma, tetapi akan jadi jauh lebih berat apabila dihadapi sendirian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun