Mohon tunggu...
sandipatampubolon
sandipatampubolon Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UPN "Veteran" Jawa Timur

Penulis penuntas penugasan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Diplomasi Budaya Sebagai Sikap Sadar Berbangsa dan Bernegara di Kancah Internasional

22 Desember 2024   12:48 Diperbarui: 22 Desember 2024   12:47 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bela negara merupakan salah satu sikap yang harus dimiliki oleh setiap masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia demi keberlangsungan negara yang tentram. Sikap ini wajib ditanamkan dalam setiap diri warga negara, baik dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Kewajiban ini juga didasarkan pada UUD 1945 Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Maka dari itu, agar upaya mempertahankan kedaulatan negara dapat terus dilakukan tanpa harus mengangkat senjata dari waktu ke waktu, lahirlah sikap bela negara untuk menerapkannya. “Ini membuat konsep bela negara akan lebih baik jika ditekankan pada partisipasi masyarakat dalam ranah keamanan, sesuai dengan bidang-bidang tertentu yang dikuasai oleh berbagai lapisan masyarakat” (Umra, 2019).

Karena konsep bela negara dapat secara supel dan relevan diterima semua kalangan masyarakat, hal tersebut dapat dilihat dari berbagai perspektif. Sikap sadar berbangsa dan bernegara sebagai salah satu poin bela negara dapat dilihat dari perspektif keilmuan hubungan internasional. Sebagai salah satu konsep penting dalam hubungan internasional, diplomasi dapat dilihat sebagai alat untuk mengimplementasikan bela negara oleh masyarakat. Termasuk ke dalam konsep soft power, diplomasi dapat membuat negara mempromosikan keunggulan atau kebijakannya tanpa ada unsur paksaan. Mengingat kekayaan budaya Indonesia begitu beragam di setiap daerahnya, diplomasi bertema budaya dapat menjadi langkah jitu dalam melestarikan keanekaragaman budaya sekaligus mengenalkannya ke kancah internasional.

Salah satu langkah dalam nilai sadar akan berbangsa dan bernegara adalah dengan mengenal value dari bangsa sendiri. Pendekatan ini menjadi relevan terhadap situasi sekarang. Lebih lanjut Umra (2019) mengatakan bahwa “era globalisasi saat ini memberi ruang bagi generasi muda Indonesia untuk lebih mudah mengenal, memahami cara berpikir dan kebudayaan bangsa lain”. Adanya ketertarikan untuk lebih mengenal budaya lain ketimbang mengenalkan budaya sendiri bisa saja terjadi jika kesadaran akan berbangsa dan bernegara kurang tertanam. Di sinilah poin penting bela negara dalam pelestarian dan pengenalan budaya lokal, khususnya di era terpaan globalisasi yang sarat akan informasi baru setiap waktunya. Pelestarian budaya lokal sama dengan menjaga identitas negara yang menjadi kedaulatan NKRI. Sehubungan dengan hal tersebut, Widodo (2011) menerangkan bahwa “kesadaran berbangsa dan bernegara salah satu indikatornya adalah berpartisipasi dalam menjaga kedaulatan bangsa dan negara”.

Pelestarian serta pengenalan budaya yang dilihat dalam sudut pandang hubungan internasional dapat dilakukan melalui orientasi soft power. “Soft power adalah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi pihak lain dengan menggunakan daya tarik, bukan menggunakan penekanan atau pemaksaan seperti yang terjadi di masa-masa sebelumnya” (Yani & Lusiana, 2018: 48-49). Daya tarik tersebut bisa melalui pariwisata hingga budaya lokal tiap daerah. Diplomasi, sebagai salah satu wujud dari konsep soft power dapat mempromosikan daya tarik tersebut kepada masyarakat dunia. Lebih lanjut, “diplomasi budaya merupakan kebijakan dalam mempromosikan dan melindungi kepentingan nasional” (Kemlu, 2022). Kebijakan dapat dilakukan oleh semua unsur masyarakat tanpa terkecuali, tidak terpusat pada pemerintah. Sebagai contoh, kuliner betutu dari Bali dapat dijadikan sarana diplomasi budaya. “Sebagai sarana diplomasi dapat dimaklumi karena kuliner ini dianggap sebagai kuliner yang paling netral dan halal (bukan haram bagi kelompok agama tertentu), untuk mewujudkan persaudaraan, kerukunan antarumat beragama” (Purna & Dwikayana, 2019). Contoh kasus lainnya adalah tempe. Dilansir dari TasteAtlas, tempe goreng masuk urutan ke-7 dari 100 makanan vegan tradisional di seluruh dunia tahun 2004. Daya tarik seperti inilah yang bisa dieksplorasi lebih jauh sebagai alat dalam berdiplomasi budaya.

Di era globalisasi ini, penerapan sadar akan berbangsa dan bernegara dapat tercermin dari diplomasi budaya. Korean Wave merupakan contoh nyata bagaimana diplomasi budaya Korea Selatan begitu terasa dampaknya akibat globalisasi. Merespons hal ini, masyarakat Indonesia sebetulnya dapat melakukan hal yang sama. Maraknya proses pertukaran informasi melalui media sosial menjadikan diplomasi budaya sebagai langkah tepat dalam pelestarian dan pengenalan budaya. Masyarakat khususnya pelajar dapat mempelajari salah satu budaya yang ada. Selanjutnya, pengenalan bisa dilakukan melalui media sosial. Konten-konten seperti tutorial memasak makanan tradisional, tutorial mengenakan pakaian adat yang sedikit dibumbui oleh tren busana modern, hingga koreografi tarian tradisional dapat menjadi awal yang bagus untuk membuat branding budaya lokal Indonesia.

Di sinilah pentingnya mengenali kekayaan bangsa sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam bela negara. Semakin masyarakat mengetahui kekayaan budaya, tentu makin tercipta rasa bangga dan cinta terhadap tanah air. Kesadaran inilah yang menjadikan kelestarian budaya dapat terjamin. Selain itu, Indonesia mempunyai posisi tertentu di kancah internasional sebagai timbal balik dari penguatan budaya lokal yang mulai diperkenalkan. Akhirnya, kedaulatan Indonesia tetap terjaga karena ada identitas khusus yang melekat di masyarakat dunia berkat bela negara melalui diplomasi budaya. Sehingga pengaruh budaya dari luar tidak semudah itu mempengaruhi lapisan masyarakat. Kegiatan diplomasi budaya ini juga dapat dilihat dalam politik dunia sebagai alat untuk menjalin kerja sama wilayah di dunia. Seperti pertukaran budaya yang dilakukan ASEAN misalnya. Ini menciptakan arena persahabatan baru akibat dari pengenalan budaya dari masing-masing negara.

Penanaman nilai-nilai bela negara dilakukan untuk membentuk karakter generasi-generasi yang akan datang. Nilai-nilai ini diharapkan dapat mengantisipasi dampak buruk globalisasi sekaligus menyadarkan bangsa Indonesia akan kekayaan budaya yang dimiliki. Konsep bela negara juga dapat semakin dirasakan manfaatnya sesuai dengan bidang keilmuan yang berada di lapisan masyarakat. Ini membuat aksi bela negara bukannya hanya menjadi tanggung jawab aparat negara, namun juga mengolaborasikan kontribusi masyarakat. Sehingga, setiap bidang keilmuan mempunyai dasar masing-masing mengenai implementasi nilai-nilai bela negara, seperti diplomasi budaya dalam studi hubungan internasional.

Referensi

Kemlu, R. I. (2022, Oktober 8). Diskusi Daring Diplomasi Budaya sebagai Instrumen Penyama Frekuensi. Retrieved from Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia: https://kemlu.go.id/wellington/id/news/16916/diskusi-daring-diplomasi-budaya-sebagai-instrumen-penyama-frekuensi

Purna, I. M. (2019). Betutu Bali: Menuju Kuliner Diplomasi Budaya Indonesia. Patanjala, 11(2), 291952.

Sinaga, O., Yani, Y. M., & Robertua, V. (2018). Diplomasi Lingkungan Indonesia antara Asa dan Realita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun