Mohon tunggu...
Muhammad Sandi Kurniawan
Muhammad Sandi Kurniawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sekedar mengisi waktu luang dengan menulis sebuah karya tulis ilmiah

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Enigma Kejahatan Dalam Sekap Filsafat Ketuhanan

16 Desember 2024   11:55 Diperbarui: 16 Desember 2024   11:55 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

 Hal mendasar yang perlu dipahami sebelum membicarakan lebih lanjut kaitan Tuhan dan kejahatan adalah apa itu kejahatan? Kejahatan sebagaimana diacu oleh banyak penulis dalam diskusi mengenai masalah kejahatan dibagi menjadi dua bagian, yaitu kejahatan moral dan kejahatan alamiah. Kejahatan moral berupa kejahatan yang muncul dari seseorang atau beberapa pelaku yang secara sadar dan bebas melakukan tindakan yang salah secara moral, misalnya dengan bertindak secara tidak adil dan tidak jujur sehingga menyebabkan penderitaan bagi pihak lain (evil by commision). Contoh kejahatan ini antara lain pembunuhan, pemerkosaaan, pencurian, dan sebagainya. Jenis kejahatan yang lain adalah membiarkan orang lain mengalami penderitaan atau menjadi korban kejahatan, meskipun ia dapat menolong (evil by omision). Sementara itu, kejahatan alamiah mengacu pada penderitaan yang muncul dari determinasi alamiah, seperti cacat bawaan, banjir, gempa bumi, tsunami, dan lain-lain. Jenis kejahatan terakhir ini secara inheren terkonstruksi dalam struktur biologis alam, termasuk manusia. Misalnya, tubuh secara alami berproses menuju kehancuran atau binatang menjadi korban dan pemangsa bagi yang lain. 

Secara umum, ada tiga dimensi masalah kejahatan, yakni: pertama, dimensi logis. Masalah kejahatan dalam dimensi ini dipersoalkan dalam frame apriori oleh para kritikus teisme seperti: J.L. Mackie, H.J. McCloskey, dan Richard LaCroix. Mereka memproblematisir antara lain: pertama, adanya inkonsistensi logis antara posisi keyakinan tradisional tentang sifat Tuhan yang mahakuasa, mahatahu, dan maha baik dengan proposisi mengenai adanya kejahatan. Kedua, apakah adanya kejahatan, walaupun dalam bentuk dan jumlah yang sedikit, secara logis bisa didamaikan dengan adanya Tuhan? Ketiga, apakah adanya Tuhan secara logis bisa didamaikan dengan adanya kejahatan yang mengerikan dan tak terpahami (gratuitous evil). 

Kedua, dimensi evidensial. Dalam dimensi evidensial, masalah kejahatan (aposteriori), yang menjadi persoalan adalah apakah Tuhan itu masuk akal di hadapan kenyataan konkret adanya kejahatan? Atau kalau dirumuskan secara lebih konkret: Apakah adanya Tuhan bisa dipahami atau masuk akal di hadapan peristiwa kejahatan konkret seperti pembunuhan massal terhadap kaum Atau kalau dirumuskan secara lebih konkret: Apakah adanya Tuhan bisa dipahami atau masuk akal di hadapan peristiwa kejahatan konkret seperti pembunuhan massal terhadap kaum mendasar dari para kritikus teisme berkaitan dengan dimensi evidensial.

Ketiga, dimensi eksistensial. Pada dimensi eksistensial, masalah kejahatan berada dalam aspek kehidupan nyata manusia di hadapan realitas kejahatan. Persoalan mendasar dari dimensi ini mencakup bagaimana pengalaman seseorang mengenai kejahatan mengondisikan sikapnya terkait dengan Yang Ilahi dan dunia? Masalah ini tidak dapat begitu saja direduksi pada persoalan emosional atau psikologis semata, juga tidak bisa dipisahkan dari keyakinan, nilai, dan prinsip hidup seseorang.

Problem kejahatan dari sudut pandang filsafat, berakar pada empat persoalan dasar. Pertama, persoalan tentang eksistensi Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu. Kedua, persoalan tentang eksistensi kejahatan sebagai tragedi realitas. Ketiga, persoalan tentang eksistensi manusia yang bebas, sekaligus sebagai agen tanggung jawab. Keempat, persoalan tentang eksistensi alam yang dinamis dengan hukum-hukum dan perkembangannya sendiri. Dari keempat persoalan itu kemudian muncul pertanyaan filosofis mendasar tentang kejahatan: Dari mana asal-usul kejahatan? Apakah kejahatan berdimensi transenden atau imanen? Apa kejahatan itu bersifat objektif, relatif atau relasional?. 

J.L Mackie (1917-1981) menawarkan pandangan yang dikenal dengan sebutan "problem logis kejahatan" (logical problem of evil). Pada dasarnya, Mackie beranggapan bahwa klaim kaum teis mengatakan Tuhan itu mahakuasa, mahatahu, dan seutuhnya baik menjadi inkonsisten dengan adanya kejahatan di dunia. Pemahaman ini menjadi bahan bagi Mackie untuk mempertanyakan kemampuan mencipta Tuhan. Tidak mungkin, Tuhan yang mahakuasa tidak mampu menciptakan alam semesta dengan kebaikan moral tapi tanpa kejahatan. Keraguan Mackie, tampaknya terpengaruh dari pernyataan klasik dari Epikuros yang mencoba membahas hubungan antara Allah dan kejahatan. Ada empat hipotesa Epikuros ketika Allah dihadapkan pada kejahatan. Pertama, Allah mau meniadakan kejahatan, tetapi Ia tidak mampu meniadakan kejahatan. Jika demikian Allah tidak maha kuasa tetapi baik hati. Kedua, Allah mampu meniadakan kejahatan tetapi Ia tidak mau. Jika demikian, Allah itu maha kuasa tetapi buruk hati. Ketiga, Allah tidak mau dan tidak mampu meniadakan kejahatan. Jika demikian, Allah adalah buruk hati dan tidak berdaya. Keempat, Allah mampu meniadakan kejahatan dan mampu menindakan kejahatan. Jika demikian, Allah adalah baik hati dan maha kuasa. Kemungkinan keempat adalah tipe Allah yang ideal, tetapi pada kenyataannya kejahatan terjadi di dunia ini, sehingga dapat disimpulkan bahwa Tuhan tidak ada. 

Teodise terkadang dimengerti sebagai enigma oleh kaum teis sebagai bagian dari kejahatan itu sendiri. Pandangan seperti ini tentu tidak sepenuhnya benar. Mackie berupaya menjernihkan perancuan pandangan yang mencoba menggabungkan antara kebaikan dan kejahatan sebagai suatu keselarasan. Ia berupaya "menjaga jarak" pada pernyataan-pernyataan kaum teis yang jatuh pada simplifikasi dan adanya solusi yang keliru (fallacious solutions) tatkala kaum teis mau menjawab problem kejahatan.

Keempat enigma tersebut yaitu: 

1.Kebaikan tidak akan Ada Tanpa Kejahatan atau Kejahatan Dibutuhkan untuk Mendukung Kebaikan 

Pernyataan tersebut bisa dijelaskan dalam tiga uraian, yakni: pertama, pernyataan tersebut seolah-olah mau mendamaikan antara kejahatan dan kebaikan. Hal ini memberikan, menurut Mackie, memberi batas pada apa yang tidak dapat Tuhan lakukan, menyatakan bahwa Tuhan tidak dapat menciptakan kebaikan tanpa sekaligus menciptakan kejahatan. Kedua, hal ini berarti bahwa Tuhan bukanlah mahakuasa atau ada batasan dari kemahakuasaan Tuhan. Batasan tersebut mengisyaratkan bahwa kemahakuasaan bukan berarti kuasa yang secara logis tidak mungkin. uraian yang ketiga, bahwa solusi tersebut menolak bahwa kejahatan adalah lawan kebaikan dalam arti sebenarnya. Jika kebaikan dan kejahatan saling mendukung mestinya hal-hal yang baik tidak akan mengeliminasi kejahatan. Tentu saja pandangan ini menyarankan bahwa kebaikan dan kejahatan tidak bisa diterapkan atau diberlakukan pada semua hal.

2. Kejahatan merupakan Kebutuhan untuk Mengartikan Kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun