Hari ini kelingking sangat berharga, 5 tahun setelah ini mungkin digunakan saat ngupil saja. Sama halnya dengan manusia Indonesia, hari ini seperti raja dari balik bilik suara, entah apa perannya 5 tahun setelah ini. Ada yang jadi objek kepentingan penguasa, ada yang jadi subjek / kroco kepentingan golongan yang lebih tinggi terhadap rakyat jelata lainnya.
Hari ini semua berpesta. Tukang sewa tenda dapat banyak orderan, pun dengan percetakan. Seketika masyarakat berebut jadi saksi di TPS-TPS terdekat. Menjadi saksi hitung-hitung bayarannya jauh lebih tinggi ketimbang jadi pencoblos yang 'hanya' dibayar maksimal 100 ribu per cucuk. Dokter pun ikut berpesta, khususnya dokter jiwa. Tetapi pesta mereka adalah penutupan dari rangkaian festival 5 tahunan ini.
Di belahan bumi lain. Sebulan ini pak Dadang sekeluarga mendadak punya banyak baju baru. Warnanya pun bermacam-macam. Ada warna biru, kuning, merah, putih, hijau, tak usalah ditanya kualitas kaus-kaus ini, manusia seperti pak Dadang tidak mengerti kualitas, yang dia tahu hanyalah fungsi sembari mengucap 'Alhamdulillah, dapat baju baru'.
Bu Eneng kebagian banyak sisa baliho bergambar wajah-wajah dipaksa berkarisma buat lapak jualan ketupatnya di pinggir jalan. Dia tidak tahu siapa mereka, maklum, bu Eneng tidak punya televisi untuk menyaksikan wajah-wajah yang padahal sering lalu lalang di iklan. Yang dia pikirkan cuma bagaimana caranya ketupat hari ini laku, persetan wajah-wajah itu, tak penting bagi hidupnya.
Media sosial tiba-tiba penuh foto self-finger yang disertai kalimat-kalimat menggugah tentang pemilu, atau yang lebih jauh dari itu, tentang demokrasi. Pemilu nusantara jadi HTT twitter, tak mau kalah dengan perang trending topic beberapa partai belakangan ini. Tentunya disertai pula dengan foto self-finger (lagi) dengan celupan manis tinta biru.
Warung kopi mendadak jadi laris manis semanis capuccino. Di sana penuh bapak-bapak berpeluh oli dan anak muda bermandikan debu bercakap tentang negeri layaknya diskusi berdasi. Kopi hangat itu menjadi dingin, terlupakan untuk diseruput, ya mereka terlalu asyik larut dalam obrolan utopia bertema politik bangsa. Sesekali gelak tawa menggelegar disertai dengan asap-asap kretek yang keluar dari sela-sela gigi yang telah menguning dan dari bulu hidung mereka yang tak terurus. Pemilik warung kopi senang, ia ikut merasakan pesta.
Mahasiswa pun ikut merasakan dampak dari pesta. Akhirnya mereka menemukan tanda koma dari rangkaian tugas tanpa akhir. Kuliah diliburkan, waktunya tubuh beristirahat dari rentetan tugas yang akhir-akhir lebih mirip formalitas sebagai syarat pemenuhan sertifikasi ketimbang mengandalkan substansi. Ada yang tidur seharian, buru-buru nonton The Raid: Berandal sebelum dicekal, bisa belajar dengan intensitas santai, atau bermesra durja dengan kekasih sebenarnya setelah sebelumnya berkasih dengan kertas-kertas.
Malangnya, pak Ujang tak bisa merasakan pesta. Ia terbaring lemah di atas kasur sejak stroke menyerangnya setahun lalu. "Pesta dedemomokekerarasisi..?" tanyanya terbata-bata. "Bukan, demokrasi". "Hah, apa itu dedemomokekerarasisi..?". Dia tidak tahu, tidak pernah tahu, dan tidak akan mau tahu apa itu demokrasi. Yang dia ingin tahu hanyalah kapan dia sembuh, kapan negara mengulurkan bantuannya, maaf terlalu berangan-angan, kapan negara menengok ke arah dia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H