Perawakannya kurus kecil. Kadang ia tenggelam diantara tubuh tinggi ratusan mahasiswa bergizi makmur yang menjejal keluar dari gerbang depan kampus yang makin kelihatan borjuis itu. Kulitnya seakan tak ada tenaga lagi untuk menempel dengan otot, lengser dimakan usia. Topi, celana panjang, dan baju panjang kumal miliknya tidak dapat menyembunyikan warna kulit hitam kecoklatan yang nampak seperti kayu vernis. Penglihatannya rabun. Ia tidak punya kacamata, lebih tepatnya, ia tidak punya uang untuk membeli kacamata. Tetapi siapapun tahu, ia pedagang kupat tahu tangguh yang telah berjualan selama puluhan tahun sebagai saksi hidup dari Institut Teknokrat Borjuis. Saksi hidup? Ah, itu panggilan lama. Bagi mahasiswa sekarang ia lebih seperti saksi yang dianggap mati. Tidak dianggap. Dianggap ketika lapar.
“Anjir, gue dapet dosen yang nggak enak banget”
“Gak cuma itu doang, suaranya pelan banget. Gue duduk dibelakang gak kedengeran, njir” ungkap yang lain menimpali.
“Pak, kupat tahu tiga piring makan sini. Satu nggak pake cabe, pak!” teriak salah satu mereka ke bapak pedagang kupat tahu berubuh kecil berkulit vernis itu.
Dengan cekatan dipotongnya ketupat satu persatu mengisi tiga piring kosong. Berlanjut ke tahu goreng kekuningan, lalu toge dan terakhir siraman bumbu kacang. Tiga porsi telah siap untuk diberikan.
“Eh, sekarang tanggal berapa sih. Gue sibuk osjur jadi lupa sama tanggal. Haha”
“Sama coy, gue juga lupa. Pak sekarang tanggal berapa?” tanya salah satu mereka ke pedagang kupat tahu.
“tujuh belas agustus, den”
Bapak pedagang kupat tahu memberikan jawaban sambil berlalu meninggalkan ketiga mahasiswa itu. Itu sudah pertanyaan yang ketiga kali sejak pagi tadi. Sekelebat muncul memori, ia lupa entah berapa belas atau puluhan tahun lalu ketika ia diajak mahasiswa arak-arakan keliling kampus Institut Teknokrat Borjuis. Memori ketika ia dianggap hidup.
Beberapa bulan lalu ada seorang berambut klimis berkumis tebal agak gendut datang menemuinya dan memberikan beberapa lembar uang ratusan ribu. Ia tidak tahu siapa bapak itu, bingung. Namun akhirnya ia ingat ketika si klimis itu membuka pembicaraan tentang aksi penolakan penggusuran tahun 80-an. Seketika air matanya sedikit mengalir. Di salamnya dengan erat si klimis itu.
“Aden kok masih ingat sama bapak?”
“Kenapa bapak bertanya seperti itu? Haha, dulukan pas 17 agustus kita pernah ngadain aksi dan diskusi ekonomi bersama antara pedagang seperti bapak dengan mahasiswa, dan bapak merupakan orang yang paling lugu yang sangat kami ingat..” jawab si klimis gendut itu tertawa dengan memperlihatkan giginya yang kekuningan tanda ia perokok hebat.
Namun, lamunan ia terganggu dengan kata ‘njir’ yang keluar ntah berapa kali dari mulut ketiga mahasiswa yang lama-lama makin dianggapnya tidak tahu malu, tertawa lepas keras sambil sesekali, entah kelepasan entah sengaja mengeluarkan frase ‘njing’. Menurut dia ‘njing’ adalah sepenggal kata dari seekor hewan. ‘njir’ dan ‘njing’, dua kata itu yang begitu dekat dengan telinga ia.
Sudah lama ia tidak mendengar diskusi ide-ide besar tentang Indonesia dari mahasiswa di lapak berjualan dia. Beberapa tahun belakangan ini ia hanya mendengar topik pembicaraan yang tak jauh dari kemolekan wanita, jomblo (sebuah kata yang tidak diketahui artinya oleh pedagang kupat tahu itu), tentang dosen, dan topik-topik lainnya yang jauh dari kehidupannya sebagai warga melarat sehingga ia pun tidak bisa terlibat di dalamnya. Wanita? Ia sudah keriput, mana ada lagi wanita yang berdebar melihatnya. Jomblo? Ah, makanan jenis apa itu. Dosen? Sekolah dasar saja tidak lulus.
Dulu, ketika diskusi ide-ide besar kebangsaan masih menghiasi lapak berjualan kupat tahu miliknya, ia tidak segan untuk ikut menyumbangkan ide sederhananya.
“Den, bagaimana kalau pemerintah bikin tempat pengisi angin ban gratis tiap beberapa meter, biar ban bapak yang bocor ini bisa diisi angin terus, biar bapak gak kecapekan dorong gerobak yang bannya kempes..” ungkap pedagang kupat tahu itu yang langsung disambut dengan gelagak tawa mahasiswa. Tidak hanya itu, yang lebih besar pun bisa diperjuangkan. Janji salah seorang mahasiswa meyakinkan penjual kupat tahu. Namun ia tersadar, itu lamunan puluhan tahun lalu.
Kini dihadapannya ada tiga orang mahasiswa yang bahkan tidak ingat hari ini adalah hari kemerdekaan bangsanya, negerinya, tanah airnya, hari di mana pintu gerbang kemerdekaan di buka dengan pengorbanan darah para pejuang pendahulu mereka.
Apa yang salah dengan generasi ini?
Akhirnya ia beranikan diri untuk bertanya kepada ketiga mahasiswa yang sedang asyik melahap kupat tahu itu.
“Aden, memang sekarang sedang sibuk apa hingga lupa hari ini tanggal 17 Agustus?” tanya bapak penjual kupat tahu malu-malu. Seperti seorang hamba yang bertanya kepada rajanya. Nampak dari sikap bapak itu kesenjangan yang menjurang antara mahasiswa dengan kaum melarat.
“Kami sedang sibuk osjur pak..”
Mungkin kontribusi untuk bangsa tidak menggebu-gebu seperti mahasiswa di jaman mudanya.
Tolong jelaskan kontribusi nyata kalian pada ibu pertiwi, bapak tidak melihatnya, bapak ingin tahu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI