Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Koruptor Akibatkan Papua Ingin Pisah Dengan NKRI

14 Agustus 2011   00:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:48 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya masyarakat Papua bergejolak untuk menolak NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebagian masyarakat asli Papua merasa tidak mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam NKRI setelah setengah abad lebih bergabung, kehidupan mereka tetap tertinggal. Padahal pemerintah sudah menggelontorkan uang demikian banyak tetapi tidak bisa merubah keinginan masyarakat Papua untuk memisahkan diri dari NKRI. Sebenarnya dalam menilai latar belakang keinginan sebagianmasyarakat Papu tersebut tidak sederhana. Bila dicermati bukan saja masalah kesejahteraan, tetapi kepentingan individu, budaya dan kepentingan kelompok tertentu memperkeruh permasalahan. Hal ini dipicu oleh tidak sampainya dana Rp 30 triliun dari pemerintah karena ulah para koruptor. Inilah mungkin menjadi salah satu bukti bahwa koruptor itu dapat memecah belah bangsa ini.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga. Padahal lebih Rp 30 triliun dana dari pemerintah telah dikucurkan untuk otonomi khusus (otsus) di Papua. Dana Otsus dikucurkan dengan tujuan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat, yang relatif tertinggal dibanding daerah lainnya. Dengan dana sebesar itu seharusnya masyarakat Papua dapat dimanjakan kehidupannya. Meski kondisi Papua telah ada kemajuan, tetapi masih banyak fakta yang membuktikan dana Otsus tidak mengenai sasaran atau menyimpang karena senagian besar masyarakat Papua masih tertinggal.

Uang triliunan tersebut digunakan tidak dengan semestinya. Dana Otsus itu hanya dijadikan bancakan oleh elit-elit di Papua untuk kepentingan ekonomi belaka. Sementara untuk kesejahteraan dan kepentingan rakyat Papua tidak banyak disentuh.

Sebagian kelompok masyarakat menginginkan referendum bagi masyarakat Papua. Pada 2 Agustus 2011 lalu, KNPB menggelar demo yang diikuti ribuan orang Papua asli di sejumlah kota untuk menyuarakan tuntutan referendum ini. Referendum dinilai merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan di Papua yang sudah terjadi sejak 1961. Dengan cara itu bisa diketahui apa keinginan masyarakat Papua sebenarnya, mau gabung dengan pemerintah RI atau Merdeka

Sampai saat ini belum tahu seberapa banyak masyarakat Papua menginginkan referendum, Tabuni menyatakan justru dengan referendum bisa diketahui masyarakat Papua ingin bergabung dengan RI atau berdiri sendiri alias merdeka. Peta kelompok masyarakat yang menginginkan referendum ini berasal dari masyarakat Papua yang melek pendidikan dan kepala-kepala suku atau adat. Sebagian tokoh agama merasa khawatir jika diterapkan referendum di Papua. Sedangkan tokoh masyarakat yang ada di birokrasi tentu saja akan menentang referendum.

Ulah Koruptor

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pertengahan bulan April 2011 menemukan adanya dugaan penyelewengan dana Otsus Papua sebesar Rp 1,85 triliun. Sejumlah Rp 1,85 triliun dana Otsus periode 2008-2010, diketahui telah didepositokan. Dengan rincian Rp 1,25 triliun pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379012 per 20 November 2008. Rp 250 miliar pada Bank Mandiri dengan nomor seri AA 379304 per 20 Mei 2009 dan Rp 350 miliar pada Bank Papua dengan no seri A09610 per 4 Januari 2010. BPK menegaskan penempatan dana Otsus dalam bentuk deposito bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 Permendagri 13 tahun 2006.

Rincian temuan BPK itu, salah satunya adalah soal dana Rp 66 miliar pengeluaran dana Otsus tidak didukung bukti yang valid. Dalam pemeriksaan tahun 2010 dan 2011, ditemukan Rp 211 miliar tidak didukung bukti termasuk realisasi belanja untuk PT TV Mandiri Papua dari tahun 2006-2009 sebesar Rp 54 miliar tidak sesuai ketentuan. Temuan lain BPK adalah soal pengadaan barang dan jasa melalui dana Otsus senilai Rp 326 miliar tidak sesuai aturan. Uang sejumlah Rp 5,3 miliar terjadi di Kota Jayapura tahun anggaran 2008 tidak melalui pelelangan umum. Pengadaan dipecah Rp 1.077.476.613 terjadi di Kabupaten Merauke tahun 2007 dan 2008. Pengadaan tanpa adanya kontrak Rp 10 miliar yang terjadi di Kabupaten Kaimana, Papua Barat, tahun anggaran 2009. Di samping itu terdapat temuan tahun 2002-2009 yang belum ditindaklanjuti Rp 309 miliar. Ketiga, dana Rp 29 miliar dana Otsus fiktif.

Dana yang sangat fantastis itu tidak diketahui rimbanya dan tidak diketahui jelas pemanfaatannya. Parkir di rekening pribadi atau didepositokan di beberapa bank nasional dan daerah. Padahal, seharusnya dana Otsus ini diperuntukkan bagi sejumlah program kesejehateraan rakyat Papua berupa pendidikan dan kesehatan.

Otsus dianggap gagal salah satunya disebabkan banyaknya tindakan korup yang dilakukan elit Papua atau pejabat Pemda. Akibatnya masyarakat Papua merasa kesal dan menganggap pejabat Pemda hanya kaki tangan pemerintah pusat. Kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemda kemudian menimbulkan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah pusat. Dana Otsus Papua yang digelontorkan pemerintah yang mencapai puluhan triliun rupiah lebih banyak dikorup oleh elit politik di Papua maupun pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah diminta mereformasi pejabat-pejabat pemda Papua.

Memang untuk menciptakan keutuhan negara NKRi tidak mudah dan tidak murah. Demi persatuan bangsa NKRI kadang harus mengesampingkan inefisiensi biaya. Ketidak optimalan pemerintahan adalah biaya yang harus dipikul demi menjaga persatuan. Tetapi jangan sampai masalah itu dijadikan alasan untuk mentoleransi para koruptor di papua dan pusat pemerintahan. Ketidak efektifan bantuan Otsus tersebut memicu terjadi ketidakstabilan negara NKRI. Bahkan nantinya bisa saja bila para koruptor di papua dikejar KPK maka justru membuat instabilitas di daerahnya sendiri untuk menghindari kejaran hukum. Masyarakat Papua tampaknya masih didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan tidak tinggi. Dengan menggunakan mengompori dengan masalah kedaerahan dan budaya yang dikaitkan dengan kemiskinan maka gejolak masyarakat untuk memisahkan diri akan lebih mudah. Tanah Papua tampaknya menyimpan bom waktu yang sangat potensial meledakkan keutuhan negara kesatauan Indonesia. Meski masalahnya sangat kompleks tetapi langkah awal yang masih harus dilakukan adalah berantas koruptor yang telah menyengsarakan masyarakat Papua. Bila referendum dilakukan dapat dipastikan maka Papua akan terlepas dari NKRI. Bila itu terjadi maka banyak Papua lainnya akan menunggu lepas dari Indonesia demi mengejar ekonomi atau egoisme kedaerahan dan karena ulah para koruptor.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun