Mohon tunggu...
Widodo Judarwanto
Widodo Judarwanto Mohon Tunggu... Dokter - Penulis Kesehatan

Dr Widodo Judarwanto, pediatrician. Telemedicine 085-77777-2765. Focus Of Interest : Asma, Alergi, Anak Mudah Sakit, Kesulitan Makan, Gangguan Makan, Gangguan Berat Badan, Gangguan Belajar, Gangguan Bicara, Gangguan Konsentrasi, Gangguan Emosi, Hiperaktif, Autisme, ADHD dan gangguan perilaku lainnya yang berkaitan dengan alergi makanan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alasan SBY Sibuk Berkoalisi

8 Maret 2011   00:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:59 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ternyata anggapan bahwa koalisi adalah merupakan ciri sistem parlementer tidak sepenuhnya benar. Demikian pula anggapan kabinet pemerintahan SBY bersifat semi-parlementer atau presidensial setengah hati juga tampaknya tidak betul. Dalam penelitian terbukti koalisi ternyata berada dalam sistem pemerintah parlementer dan presidensial dengan prosentase yang tidak jauh berbeda. Tampaknya SBY fokus pada koalisi bukan takut dimakzulkan DPR, tetapi kegaduhan politik yang ditimbulkannya dapat mengganggu efektifitas pemerintahan.

Keberadaan partai koalisi bukanlah faktor pembeda sistem presidensial dan parlementer. Hal ini dibuktikan oleh beberapa peneliti dalam mengamati koalisi pada sistem presidensial ternyata merupakan fenomena yang tidak jauh berbeda pada sistem parlementer. Dalam pengamatan pada beberapa negara demokratis antara 1970-2004 dibuktikan bahwa pemerintahan koalisi dalam sistem presidensial 36,3 persen sedangkan dalam sistem parlementer terjadi sebanyak 39 persen. Dalam penelitian lainnya juga terungkap bahwa di kedua sistem, koalisi terjadi sebanyak lebih dari 50 persen ketika partai presiden tidak memiliki mayoritas di lembaga legislatif.

Dalam sistem Parlementer, Perdana menteri atau nama sejenisnya dipilih dari anggota parlemen. Orang yang memperoleh dukungan mayoritas biasanya yang terpilih. Tetapi, tidak semua partai bisa menguasai parlemen secara mayoritas.

Tetapi dalam sistem presidensial, presiden dipilih secara langsung dan terpisah dari parlemen. Sehingga bisa saja partai yang tidak menguasai kursi mayoritas mampu mengusung seseorang untuk terpilih sebagai presiden. Di negara tertentu, presiden bahkan bisa berasal dari perorangan. Indonesia memang menganut sistem presidensial, tetapi sulit mengabaikan sifat parlementer. Hal ini terjadi karena sangat besarnya kekuasaan parlemen. Di dalam menentukan jabatan pembantunya yang seharusnya menjadi hak eksekutif, presiden tidak bisa sendirian seperti di dalam menentukan pimpinan BI dan deputinya, Kapolri, Pangab, dan duta besar. Meski DPR tidak mudah menjatuhkan Presiden, tetapi kekuatan parlemen sangat mampu dalam menggoyahkan kestabilan pemerintahan. Bila hal itu terjadi sangat menganggu roda pemerintahan dalam membangun rakyatnya.

Dalam keadaan seperti itu, kemurnian sistem presidensial tidak bisa diterapkan sepenuhnya. Meski didukung kemenangan mayoritas demokrat, SBY masih harus membangun koalisi di dalam pemerintahannya.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, koalisi jadi pilihan sulit. Namun realitas politik itu sulit terhindarkan, terutama saat parpol yang mendukung presiden tak mendapatkan dukungan mayoritas di DPR. Scott Mainwaring dalam bukunya menyatakan, pemerintahan presidensial dengan sistem kepartaian majemuk merupakan kombinasi yang sulit dan dilematis.

SBY Tidak Takut Dimakzulkan

Sebenarnya pembentukan koalisi tersebut bukan karena presiden harus takut dijatuhkan DPR. DPR disebut legislatif karena menjalankan fungsi legislasi, fungsi penganggaran dan fungsi pengawasan. Dalam fungsi pengawasan itu DPR alat kelengkapan berupa hak interpelasi (hak mengajukan pertanyaan), hak angket (hak untuk melakukan penyelidikan), dan hak menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah yang memiliki dampak besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maupun terhadap dugaan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan tindak pelanggaran hukum seperti korupsi, penyuapan, dan pidana berat lain, melakukan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Presiden tidak dapat dimakzulkan dalam masa jabatannya kecuali melanggar hal-hal yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 7A yang berbunyi: “Presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.” Pintu pemakzulan (impeachment) memang ada, tetapi jalannya sangat panjang dan berliku serta pintunya sangat-sangat kecil. Setelah amendemen pemakzulan presiden/wakil presiden merupakan perpaduan atau gabungan antara proses politik dan proses hukum. Pemakzulan bukan lagi hanya menjadi urusan DPR dan MPR, melainkan juga memutlakkan peran dan wewenang MK. Jadi dalam sistem presidensial, DPR tidak bisa menjatuhkan Presiden, kecuali Presiden sendiri yang menjatuhkan dirinya sendiri melalui tindak pelanggaran hukum, perbuatan tercela maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden.

Selama ini konflik anggota koalisi dan pemerintahan SBY pernah dua kali terjadi di dalam perseteruan besar. Konflik pertama terjadi saat penggunaan hak Angket Century. Golkar, PKS, dan PPP secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pimpinan koalisi. Perseteruan berikutnya saat usulan penggunaan Angket Mafia Pajak.

Coba lihat pengalaman pertempuran politik kasus Century di parlemen sampai saat ini tidak menghasilkan keluaran apapun. Tetapi menyisakan kegaduhan politik antara anak bangsa yang hanya menganggu konsentrasi pemerintah dalam membangun rakyatnya. Demikian juga pengajuan hak angket pajak ternyata yang menjadi alasan Golkar dan partai lainnya bukan untuk membuka kasus mafia hukum pajak. Tetapi untuk politisasi kasus pajak dengan mempermasalahkan kinerja dan kebijaksanaan pemerintah tentang pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun